Rabu, 17 September 2014

Sertifikasi Guru PAI

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Di sekolah, guru adalah orang tua kedua bagi anak didik. sebagai orang tua, guru harus menganggapnya sebagai anak didik, karena anak didik adalah anak. Orang tua dan anak adalah dua sosok insani yang diikat oleh tali jiwa. Belaian kasih dan sayang adalah naluri jiwa orang tua yang sangat diharapkan oleh anak, sama halnya belaian kasih dan sayang seorang guru kepada anak didiknya.
Ketika guru hadir bersama-sama anak didik di sekolah, di dalam jiwanya seharusnya sudah tertanam niat untuk mendidik anak didik agar menjadi orang yang berilmu pengetahuan, mempunyai sikap dan watak yang baik, yang cakap dan terampil, bersusila dan berakhlak mulia.
Kebaikan seorang guru tercermin dari kepribadiannya dalam bersikap dan berbuat, tidak saja ketika di sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Guru memang harus menyadari bahwa dirinya adalah figur yang diteladani oleh semua pihak, terutama oleh anak didiknya di sekolah. Guru adalah bapak rohani bagi anak didiknya. Hal ini berarti, bahwa guru sebagai arsitek bagi rohani anak didiknya. Terutama pada guru Pendidikan Agama Islam.
Guru Pendidikan Agama Islam mempunyai peran untuk membentuk kepribadian anak didik lebih dipentingkan. Anak didik yang berilmu dan berketerampilan belum tentu berakhlak mulia. Cukup banyak orang yang berilmu dan berketerampilan, tetapi karena tidak mempunyai akhlak yang mulia, mereka terkadang menggunakannya untuk hal-hal yang negatif. Namun demikian, bukan berarti orang yang berilmu dan berketerampilan tidak diharapkan, tetapi yang sangat diperlukan tentu saja adalah orang yang berilmu dan berketerampilan, serta yang berakhlak mulia. Pembinaan anak didik mengacu pada tiga aspek di atas, yakni anak didik yang berakhlak mulia, cakap, dan terampil.
Dengan adanya peran guru Pendidikan Agama Islam yang pro aktif terhadap siswa, hal ini membuat anak didik termotivasi untuk belajar, karena guru mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anak didiknya. motivasi belajar adalah dorongan untuk berbuat merubah tingkah laku dengan pengalaman dan latihan.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa guru adalah pendidik professional. Seorang sarjana (S1) atau diploma empat (D4), menguasai kompetensi, memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Sertifikasi guru merupakan salah satu upaya untuk peningkatan mutu dan kesejahteraan guru, berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran. Dengan terlaksananya sertifikasi guru, diharapkan akan berdampak pada meningkatnya mutu pembelajaran dan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Pelaksanaan sertifikasi guru telah ditunggu-tunggu oleh para guru, dan menjadi topik pembicaraan utama setelah rencana pelaksanaan tahun 2006 tidak jadi dilaksanakan karena peraturan pemerintah sebagai landasan hukum belum ditetapkan. Dengan diterbitkannya Peraturan Mendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, maka sertifikasi guru sudah mempunyai landasan hukum untuk segera dilaksanakan secara bertahap dimulai pada tahun 2007.
Tahap awal pelaksanaan sertifikasi dimulai dengan pemberian kuota kepada Kabupaten/Kota, pembentukan panitia pelaksanaan sertifikasi guru di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, dan penetapan peserta oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Agar seluruh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota mempunyai pemahaman yang sama tentang kriteria dan proses penetapan peserta sertifikasi guru, maka perlu disusun Pedoman Penetapan Peserta dan Pelaksanaan Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Pedoman ini disusun sesuai amanat dalam Peraturan Mendiknas pasal 4 ayat (3) yang dinyatakan bahwa penentuan peserta sertifikasi berpedoman pada criteria yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal PMPTK.
Engkoswara, dalam “Menuju Indonesia Modern”, mengemukakan, guru adalah seorang tenaga pendidik yang bekerja menyampaikan ilmu pengetahuan (kognitif), mengembangkan sikap kepribadian (afektif), serta memberikan bekal keterampilan (psikomotor) kepada peserta didik, dalam ruang lingkup organisasi pendidikan di tingkat sekolah. Guru juga merupakan “ujung tombak” kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas atau sebagai orang yang mengemban dan mengembangkan berbagai bentuk pemikiran, yang terkandung dalam kurikulum pendidikan serta berbagai aturan atau pedoman yang berkaitan dengan KBM di sekolah. Dengan demikian diperlukan komprehensivitas diri pada para guru antara lain : pemikiran, kemampuan, disiplin kerja yang diperlukan agar mencapai hasil yang maksimal menuju tercapainya tujuan pendidikan.
Dengan adanya sertifikasi guru diharapkan mampu menciptakan guru yang professional, berkompeten, berkualitas dalam mengajar. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikat pendidik. Kewajiban ini tanpa kecuali, juga berlaku bagi RA dan madrasah. Ketentuan ini dimaksudkan sebagai mekanisme dan upaya untuk meningkatkan martabat profesi guru di masyarakat, sekaligus meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya manusianya.
Sehubungan dengan pelaksanaan sertifikasi bagi guru, memicu para guru yang belum memiliki kualifikasi S1 (strata satu) untuk berusaha melanjutkan studi lanjut ke Perguruan Tinggi guna memperoleh gelar sarjana sebagai salah satu syarat kualifikasi akademik dan sekaligus meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru. Atas dasar itulah maka penulis mengadakan penelitian tentang "Makna Sertifikasi Bagi Guru Pendidikan Agama Islam"

Rumusan Masalah
Dengan berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana sertifikasi bagi guru Pendidikan Agama Islam ?
Bagaimana pengaruh sertifikasi bagi guru pendidikan agama Islam dalam meningkatkan kinerja ?



BAB II
PEMBAHASAN

Sertifikasi Bagi Guru Pendidikan Agama Islam
Sertifikasi guru adalah proses pemrolehan sertifikat pendidik oleh seseorang yang telah bertugas sebagai guru pada satuan pendidikan yang ada dalam binaan Departemen Agama. Sertifikat pendidik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikasi pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, meningkatkan martabat guru, dan meningkatkan profesionalisme guru.
Salah satu upaya yang diamanatkan oleh PP No. 19/2005 dan UU No. 14/2005 dalam menjadikan jabatan guru sebagai jabatan profesional untuk meningkatkan citra guru adalah pendidikan profesi yang memungkinkan guru menguasai kompetensi utuh sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada peningkatan kualitas pendidikan. Kepemilikan kompetensi ini akan ditandai dengan pemerolehan. Sertifikat pendidik yang selanjutnya akan diikuti oleh penghargaan berupa tunjangan profesi.
Ketentuan ini berlaku bagi semua guru, termasuk bagi guru MI dan guru PAI di sekolah. Menurut PP No. 19/2005, Pasal 29 ayat (2) bahwa seorang guru (MI atau PAI) minimal harus mempunyai kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau D-IV serta sertifikat profesi untuk guru MI atau PAI. Sehubungan dengan persyaratan ini, perlu segera dirancang program pendidikan seperti yang diamanatkan oleh UU No. 14 tahun 2005 dalam bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari sisi akademik maupun pengelolaan.
Jumlah dan persebaran serta heterogenitas latar belakang guru di lingkungan Departemen Agama yang bertugas di MI, MTs, MA yang berjumlah 524.543 orang, maka keadaan guru pada MI adalah paling kompleks diantara guru-guru yang ada, sehingga memerlukan penanganan ekstra. Data perkembangan jumlah guru tahun 2007 menunjukkan bahwa guru MI dan PAI yang masih berpendidikan SLTA, D-1, D-2 dan D-3 berjumlah 449.041 orang. jumlah guru ini tersebar di seluruh pelosok tanah air, mulai dari kota besar, sampai ke daerah yang paling terpencil, dengan latar belakang yang sangat bervariasi, mengindikasikan betapa kompleksnya pekerjaan yang harus digarap untuk memenuhi amanat Undang-undang di mana dalam waktu 10 tahun menargetkan semua pendidik harus memenuhi kualifikasi akademik minimal S-1.
Guru MI dan PAI dituntut untuk segera meningkatkan kualifikasinya agar mampu berkarya secara profesional. Berkaitan dengan masih banyaknya guru MI dan PAI yang belum memiliki kualifikasi seperti yang dituntut oleh peraturan perundang-undangan diperlukan prakarsa yang inovatif dan efisien untuk memberikan layanan pendidikan yang memungkinkan tidak mengganggu pelaksanan tugas-tugas keseharian masing-masing guru.

Pengaruh Sertifikasi Bagi Guru Pendidikan Agama Islam dalam Meningkatkan Kinerja
Program sertifikasi guru yang digelar pemerintah dalam bingkai sertifikat profesi pendidik sejak awal sebenarnya didedikasikan untuk melahirkan guru-guru yang kompeten dan profesional. Sekaligus guru yang telah mendapat sertifikat itu secara otomatis juga akan mendapat tambahan kesejahteraan sebesar satu kali gaji pokok.
Sebagai bentuk jawaban konkrit dari pemerintah guna memenuhi desakan untuk meningkatan mutu pendidikan dan sekaligus peningkatan kesejahteraan bagi guru yang selama ini dirasa teramat rendah. Hal itu pula didasarkan atas asumsi bahwa persoalan peningkatan mutu pendidikan tentu bertolak pada mutu guru. Tanpa adanya peningkatan dari mutu guru itu sendiri jelas kualitas pendidikan di tanah air saat ini tidak akan banyak berubah.
Bila ditelusuri lebih jauh pula, dalam perjalanan program sertifikasi selama ini, pemerintah sebenarnya telah lebih menunjukkan ketidak-profesionalnya. Sejak awal telah banyak celah yang menunjukkan kelemahan program sertifikasi ini. Sebab banyak prosedur yang dibuat pemerintah yang pada akhirnya juga dilangkai sendiri. Diantaranya ialah mengenai ketentuan lulus atau tidaknya para guru peserta uji sertifikasi.
Kerja keras para guru untuk mendapatkan sertifikasi profesi pendidik seharusnya pada akhirnya memang berujung pada dua kenyataan, antara lulus dan tidak lulus. Hal ini untuk memilah mana guru yang memang benar-benar kompeten dan profesional dan mana yang tidak memiliki kompetensi, kepribadian dan profesionalitas sebagaimana yang diharapkan.
Namun, sebenarnya pada akhirnya tidak ada kategori tidak lulus dalam program sertifikasi ini. Sebab ujung-ujungnya, semua guru tetap akan mendapat sertifikasi itu. Di satu sisi pemerintah sudah menetapkan alat ukur kompetensi guru melalui portopolio. Sementara di sisi lain, peraturan yang dibuat juga sangat membuka peluang terjadinya pelemahan terhadap kualitas uji kompetensi pendidik tersebut.
Sebab dalam aturan tentang sertifikasi, bila portopolio yang disusun guru tidak memenuhi standar dan dinyatakan tidak lulus, masih ada peluang besar untuk lulus sertifikasi dengan mengikuti Diklat Profesi Guru. Padahal Diklat Profesi sendiri terhitung singkat dan mudah. Seakan-akan hanya dalam waktu 30 jam Diklat Profesi dianggap cukup untuk melahirkan SDM tenaga pendidik yang kompeten dan profesional.
Dengan adanya sertifikasi maka secara tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebagaimana tujuan dari sertifikasi guru untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, meningkatkan martabar guru, dan meningkatkan profesionalisme guru.





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua pihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Kesadaran dan pemahamannya ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau guru kembali masuk kampus untuk meningkatkan kualifikasinya, maka belajar kembali ini bertujuan untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1.
Demikian pula, kalau guru mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi guru. Sehingga akan mempengaruhi adanya kinerja karyawan.

Penutup
Demikianlah makalah yang dapat disampaikan, apabaila ada kekurangan dan kesalahan kami minta maaf, serta dengan senang hati kami menerima saran dan kritik yang bersifat konstruktif. Akhir kata semoga brmanfaat dan menambah khazanah bagi kita semua. Amin.









DAFTAR PUSTAKA

DirektoDirektorat Pendidikan Madrasah, Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan, Departemen Agama, 2007.
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1994.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswin Zaini, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
HYPERLINK "http://psg.borneo.oc.id/wp-content/files/faq01.pdf" http://psg.borneo.oc.id/wp-content/files/faq01.pdf
http://nayawati.blogspot.com/2010/03/makna-sertifikasi-bagi-guru-pendidikan.html?m=1





Sertifikasi Guru PAI

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Di sekolah, guru adalah orang tua kedua bagi anak didik. sebagai orang tua, guru harus menganggapnya sebagai anak didik, karena anak didik adalah anak. Orang tua dan anak adalah dua sosok insani yang diikat oleh tali jiwa. Belaian kasih dan sayang adalah naluri jiwa orang tua yang sangat diharapkan oleh anak, sama halnya belaian kasih dan sayang seorang guru kepada anak didiknya.
Ketika guru hadir bersama-sama anak didik di sekolah, di dalam jiwanya seharusnya sudah tertanam niat untuk mendidik anak didik agar menjadi orang yang berilmu pengetahuan, mempunyai sikap dan watak yang baik, yang cakap dan terampil, bersusila dan berakhlak mulia.
Kebaikan seorang guru tercermin dari kepribadiannya dalam bersikap dan berbuat, tidak saja ketika di sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Guru memang harus menyadari bahwa dirinya adalah figur yang diteladani oleh semua pihak, terutama oleh anak didiknya di sekolah. Guru adalah bapak rohani bagi anak didiknya. Hal ini berarti, bahwa guru sebagai arsitek bagi rohani anak didiknya. Terutama pada guru Pendidikan Agama Islam.
Guru Pendidikan Agama Islam mempunyai peran untuk membentuk kepribadian anak didik lebih dipentingkan. Anak didik yang berilmu dan berketerampilan belum tentu berakhlak mulia. Cukup banyak orang yang berilmu dan berketerampilan, tetapi karena tidak mempunyai akhlak yang mulia, mereka terkadang menggunakannya untuk hal-hal yang negatif. Namun demikian, bukan berarti orang yang berilmu dan berketerampilan tidak diharapkan, tetapi yang sangat diperlukan tentu saja adalah orang yang berilmu dan berketerampilan, serta yang berakhlak mulia. Pembinaan anak didik mengacu pada tiga aspek di atas, yakni anak didik yang berakhlak mulia, cakap, dan terampil.
Dengan adanya peran guru Pendidikan Agama Islam yang pro aktif terhadap siswa, hal ini membuat anak didik termotivasi untuk belajar, karena guru mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anak didiknya. motivasi belajar adalah dorongan untuk berbuat merubah tingkah laku dengan pengalaman dan latihan.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa guru adalah pendidik professional. Seorang sarjana (S1) atau diploma empat (D4), menguasai kompetensi, memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Sertifikasi guru merupakan salah satu upaya untuk peningkatan mutu dan kesejahteraan guru, berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran. Dengan terlaksananya sertifikasi guru, diharapkan akan berdampak pada meningkatnya mutu pembelajaran dan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Pelaksanaan sertifikasi guru telah ditunggu-tunggu oleh para guru, dan menjadi topik pembicaraan utama setelah rencana pelaksanaan tahun 2006 tidak jadi dilaksanakan karena peraturan pemerintah sebagai landasan hukum belum ditetapkan. Dengan diterbitkannya Peraturan Mendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, maka sertifikasi guru sudah mempunyai landasan hukum untuk segera dilaksanakan secara bertahap dimulai pada tahun 2007.
Tahap awal pelaksanaan sertifikasi dimulai dengan pemberian kuota kepada Kabupaten/Kota, pembentukan panitia pelaksanaan sertifikasi guru di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, dan penetapan peserta oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Agar seluruh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota mempunyai pemahaman yang sama tentang kriteria dan proses penetapan peserta sertifikasi guru, maka perlu disusun Pedoman Penetapan Peserta dan Pelaksanaan Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Pedoman ini disusun sesuai amanat dalam Peraturan Mendiknas pasal 4 ayat (3) yang dinyatakan bahwa penentuan peserta sertifikasi berpedoman pada criteria yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal PMPTK.
Engkoswara, dalam “Menuju Indonesia Modern”, mengemukakan, guru adalah seorang tenaga pendidik yang bekerja menyampaikan ilmu pengetahuan (kognitif), mengembangkan sikap kepribadian (afektif), serta memberikan bekal keterampilan (psikomotor) kepada peserta didik, dalam ruang lingkup organisasi pendidikan di tingkat sekolah. Guru juga merupakan “ujung tombak” kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas atau sebagai orang yang mengemban dan mengembangkan berbagai bentuk pemikiran, yang terkandung dalam kurikulum pendidikan serta berbagai aturan atau pedoman yang berkaitan dengan KBM di sekolah. Dengan demikian diperlukan komprehensivitas diri pada para guru antara lain : pemikiran, kemampuan, disiplin kerja yang diperlukan agar mencapai hasil yang maksimal menuju tercapainya tujuan pendidikan.
Dengan adanya sertifikasi guru diharapkan mampu menciptakan guru yang professional, berkompeten, berkualitas dalam mengajar. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikat pendidik. Kewajiban ini tanpa kecuali, juga berlaku bagi RA dan madrasah. Ketentuan ini dimaksudkan sebagai mekanisme dan upaya untuk meningkatkan martabat profesi guru di masyarakat, sekaligus meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya manusianya.
Sehubungan dengan pelaksanaan sertifikasi bagi guru, memicu para guru yang belum memiliki kualifikasi S1 (strata satu) untuk berusaha melanjutkan studi lanjut ke Perguruan Tinggi guna memperoleh gelar sarjana sebagai salah satu syarat kualifikasi akademik dan sekaligus meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru. Atas dasar itulah maka penulis mengadakan penelitian tentang "Makna Sertifikasi Bagi Guru Pendidikan Agama Islam"

Rumusan Masalah
Dengan berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana sertifikasi bagi guru Pendidikan Agama Islam ?
Bagaimana pengaruh sertifikasi bagi guru pendidikan agama Islam dalam meningkatkan kinerja ?



BAB II
PEMBAHASAN

Sertifikasi Bagi Guru Pendidikan Agama Islam
Sertifikasi guru adalah proses pemrolehan sertifikat pendidik oleh seseorang yang telah bertugas sebagai guru pada satuan pendidikan yang ada dalam binaan Departemen Agama. Sertifikat pendidik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikasi pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, meningkatkan martabat guru, dan meningkatkan profesionalisme guru.
Salah satu upaya yang diamanatkan oleh PP No. 19/2005 dan UU No. 14/2005 dalam menjadikan jabatan guru sebagai jabatan profesional untuk meningkatkan citra guru adalah pendidikan profesi yang memungkinkan guru menguasai kompetensi utuh sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada peningkatan kualitas pendidikan. Kepemilikan kompetensi ini akan ditandai dengan pemerolehan. Sertifikat pendidik yang selanjutnya akan diikuti oleh penghargaan berupa tunjangan profesi.
Ketentuan ini berlaku bagi semua guru, termasuk bagi guru MI dan guru PAI di sekolah. Menurut PP No. 19/2005, Pasal 29 ayat (2) bahwa seorang guru (MI atau PAI) minimal harus mempunyai kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau D-IV serta sertifikat profesi untuk guru MI atau PAI. Sehubungan dengan persyaratan ini, perlu segera dirancang program pendidikan seperti yang diamanatkan oleh UU No. 14 tahun 2005 dalam bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari sisi akademik maupun pengelolaan.
Jumlah dan persebaran serta heterogenitas latar belakang guru di lingkungan Departemen Agama yang bertugas di MI, MTs, MA yang berjumlah 524.543 orang, maka keadaan guru pada MI adalah paling kompleks diantara guru-guru yang ada, sehingga memerlukan penanganan ekstra. Data perkembangan jumlah guru tahun 2007 menunjukkan bahwa guru MI dan PAI yang masih berpendidikan SLTA, D-1, D-2 dan D-3 berjumlah 449.041 orang. jumlah guru ini tersebar di seluruh pelosok tanah air, mulai dari kota besar, sampai ke daerah yang paling terpencil, dengan latar belakang yang sangat bervariasi, mengindikasikan betapa kompleksnya pekerjaan yang harus digarap untuk memenuhi amanat Undang-undang di mana dalam waktu 10 tahun menargetkan semua pendidik harus memenuhi kualifikasi akademik minimal S-1.
Guru MI dan PAI dituntut untuk segera meningkatkan kualifikasinya agar mampu berkarya secara profesional. Berkaitan dengan masih banyaknya guru MI dan PAI yang belum memiliki kualifikasi seperti yang dituntut oleh peraturan perundang-undangan diperlukan prakarsa yang inovatif dan efisien untuk memberikan layanan pendidikan yang memungkinkan tidak mengganggu pelaksanan tugas-tugas keseharian masing-masing guru.

Pengaruh Sertifikasi Bagi Guru Pendidikan Agama Islam dalam Meningkatkan Kinerja
Program sertifikasi guru yang digelar pemerintah dalam bingkai sertifikat profesi pendidik sejak awal sebenarnya didedikasikan untuk melahirkan guru-guru yang kompeten dan profesional. Sekaligus guru yang telah mendapat sertifikat itu secara otomatis juga akan mendapat tambahan kesejahteraan sebesar satu kali gaji pokok.
Sebagai bentuk jawaban konkrit dari pemerintah guna memenuhi desakan untuk meningkatan mutu pendidikan dan sekaligus peningkatan kesejahteraan bagi guru yang selama ini dirasa teramat rendah. Hal itu pula didasarkan atas asumsi bahwa persoalan peningkatan mutu pendidikan tentu bertolak pada mutu guru. Tanpa adanya peningkatan dari mutu guru itu sendiri jelas kualitas pendidikan di tanah air saat ini tidak akan banyak berubah.
Bila ditelusuri lebih jauh pula, dalam perjalanan program sertifikasi selama ini, pemerintah sebenarnya telah lebih menunjukkan ketidak-profesionalnya. Sejak awal telah banyak celah yang menunjukkan kelemahan program sertifikasi ini. Sebab banyak prosedur yang dibuat pemerintah yang pada akhirnya juga dilangkai sendiri. Diantaranya ialah mengenai ketentuan lulus atau tidaknya para guru peserta uji sertifikasi.
Kerja keras para guru untuk mendapatkan sertifikasi profesi pendidik seharusnya pada akhirnya memang berujung pada dua kenyataan, antara lulus dan tidak lulus. Hal ini untuk memilah mana guru yang memang benar-benar kompeten dan profesional dan mana yang tidak memiliki kompetensi, kepribadian dan profesionalitas sebagaimana yang diharapkan.
Namun, sebenarnya pada akhirnya tidak ada kategori tidak lulus dalam program sertifikasi ini. Sebab ujung-ujungnya, semua guru tetap akan mendapat sertifikasi itu. Di satu sisi pemerintah sudah menetapkan alat ukur kompetensi guru melalui portopolio. Sementara di sisi lain, peraturan yang dibuat juga sangat membuka peluang terjadinya pelemahan terhadap kualitas uji kompetensi pendidik tersebut.
Sebab dalam aturan tentang sertifikasi, bila portopolio yang disusun guru tidak memenuhi standar dan dinyatakan tidak lulus, masih ada peluang besar untuk lulus sertifikasi dengan mengikuti Diklat Profesi Guru. Padahal Diklat Profesi sendiri terhitung singkat dan mudah. Seakan-akan hanya dalam waktu 30 jam Diklat Profesi dianggap cukup untuk melahirkan SDM tenaga pendidik yang kompeten dan profesional.
Dengan adanya sertifikasi maka secara tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebagaimana tujuan dari sertifikasi guru untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, meningkatkan martabar guru, dan meningkatkan profesionalisme guru.





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua pihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Kesadaran dan pemahamannya ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau guru kembali masuk kampus untuk meningkatkan kualifikasinya, maka belajar kembali ini bertujuan untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1.
Demikian pula, kalau guru mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi guru. Sehingga akan mempengaruhi adanya kinerja karyawan.

Penutup
Demikianlah makalah yang dapat disampaikan, apabaila ada kekurangan dan kesalahan kami minta maaf, serta dengan senang hati kami menerima saran dan kritik yang bersifat konstruktif. Akhir kata semoga brmanfaat dan menambah khazanah bagi kita semua. Amin.









DAFTAR PUSTAKA

DirektoDirektorat Pendidikan Madrasah, Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan, Departemen Agama, 2007.
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1994.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswin Zaini, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
HYPERLINK "http://psg.borneo.oc.id/wp-content/files/faq01.pdf" http://psg.borneo.oc.id/wp-content/files/faq01.pdf
http://nayawati.blogspot.com/2010/03/makna-sertifikasi-bagi-guru-pendidikan.html?m=1





Standarisasi Bahasa

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Setiap negara tentu memiliki bahasa masing-masing, yang menjadi pembeda antara negara tersebut dengan negara lainnya, juga bahasa yang menjadi ciri khas dari negara tersebut. Sudah menjadi ketentuan bahwa bahasa yang menjadi bahasa nasional suatu negara pasti memiliki kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan serta peraturan yang mengikatnya, dengan tujuan agar bahasa tersebut menjadi tetap atau baku dan tidak berubah-ubah meski penuturnya silih berganti, tempat dituturkannya dimana-mana dan waktu dituturkannya pun berjarak atau berperiode. Maka pemerintah memiliki kewajiban untuk menstandarkan atau membakukan bahasa nasional negaranya.
Bahasa Arab yang merupakan salah satu bahasa dengan penutur terbanyak di dunia, dan juga bahasa resmi kedua di organisasi dunia, yakni PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), ternyata tidak langsung menjadi bahasa yang teratur, kaya dan komplit seperti yang kita kenal dan kita pelajari saat ini, melainkan ia juga mengalami proses pembakuan atau pengodifikasian sebelumnya.
Makalah yang kami susun ini bertujuan untuk membahas sekelumit dari perihal pembakuan Bahasa Arab, bahasa yang digunakan oleh sebagian besar penduduk dunia, dilafalkan oleh para penganut ajaran Islam dan juga mereka yang tertarik pada bahasa ini. Semoga hal ini bisa bermanfaat bagi khalayak umum, dan saudara-saudara yang ingin mengetahui lebih dan menggeluti Bahasa Arab secara mendalam pada khususnya.

Rumusan Masalah

Apa yang dimaksud dengan standarisasi atau pembakuan bahasa?
Bagaimana proses standarisasi Bahasa Arab?
a.  Apa saja sumber-sumber standar pembakuan Bahasa Arab?
b. Apa yang menjadi standar Bahasa Arab baku/ Al-lughoh Al-fusha sekarang?



BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Standarisasi atau Pembakuan Bahasa
Pembakuan atau standarisasi bahasa adalah proses penentuan ukuran atau norma rujukan yang digunakan atau dapat digunakan sebagai kerangka rujukan atau patokan dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Norma itu ditentukan oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan sediri atas dasar kesepakatan sosial sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan.
Standarisasi bahasa merupakan suatu proses yang berlangsung secara bertahap, tidak sekali jadi. Proses standarisasi tersebut mengalami tahap-tahap sebagai berikut:
1. Pemilihan (selection) ; melalui penelitian,---metode pengkajian bahasa.
            Satu variasi atau dialek tertentu akan dipilih kemudian dikembangkan menjadi bahasa baku. Ragam atau variasi tersebut bisa berupa satu ragam yang telah ada, misalnya yang dipakai dalam kegiatan-kegiatan politik, sosial atau perdagangan, dan bisa merupakan campuran dari berbagai ragam yang ada.
2. Kodifikasi
            Kodifikasi yaitu proses pemberlakuan suatu kode atau aturan kebahasaan untuk dijadikan norma dalam berbahasa oleh masyarakat. Kodifikasi ini meliputi (a) otografi, (b) lafal, (c) tata bahasa, (d) peristilahan. Badan atau lembaga tertentu biasanya ditunjuk untuk terlaksananya kodifikasi ini. Lembaga ini menyusun kamus, buku tata bahasa dengan berpedoman pada kode atau variasi yang akan dimasyarakatkan; sehingga setiap orang mempunyai acuan aturan bahasa yang ‘benar’. Setelah kodifikasi ini dibentuk, maka masyarakat akan mempelajari atau ingin mempelajari bentuk bahasa yang benar dan menghindari yang tidak benar, walaupun yang tidak benar ragam bahasanya sendiri.
3. Penjabaran Fungsi / Sosialisasi
            Apa yang dikodifikasikan itu tidak akan memasyarakat tanpa adanya penjabaran fungsi ragam yang sudah standar itu. Pada kenyataannya proses sosialisasi fungsi ini akan melibatkan pemasyarakatan hal-hal kebahasaan seperti pembiasaan format atau bentuk surat atau dalam penyusunan test dan lain sebagainya.
4. Persetujuan
       Tahap terakhir adalah ragam bahasa itu haruslah disetujui oleh anggota masyarakat penutur bahasa tersebut sebagai bahasa nasional mereka. Kalau sudah sampai pada tahap ini, maka bahasa standar itu mempunyai kekuatan untuk mempersatukan bangsa dan menjadi simbol kemerdekaan negara dan menjadi ciri pembeda dari negara-negara lain.
Proses Standarisasi Bahasa Arab
Bahasa Arab adalah bahasa yang masuk dalam subrumpun Semit dari Hamito Semit atau Afro Asiatik. Bahasa Arab digunakan oleh orang –orang yang tinggal di Semenanjung Arabia, Terdapat banyak dialek-dialek atau lahjah yang tumbuh dan hidup disana, Bahasa ini termasuk dalam bahasa klasik yang paling luas penggunaannya di dunia ini dari pada bahasa-bahasa klasik lainnya, seperti bahasa Latin, bahasa Sansekerta, bahasa Ibrani dan bahasa lainnya. Mengapa? Karena bahasa ini merupakan bahasa al Qur’an yang dibaca oleh berjuta-juta kaum muslimin di penjuru alam ini, yang kemudian mereka gunakan dalam penulisan maupun pembahasan masalah-masalah yang masih terkait dengan agama.
Dibakukannya Bahasa arab menjadi Bahasa fusha disebabkan oleh berbagai  alasan, seperti kepentingan agama, politik, pemerintahan, pemersatu bangsa, dan ciri identitas. Proses standarisasi Bahasa Arab dilakukan melalui kodifikasi formal, seperti penyusunan kamus, tatabahasa, buku-buku kaidah kebahasaan ditulis dengan ragam standar.  Di dalam bahasa Arab proses kodifikasi telah di mulai sejak abad ke 5 M, pada masa pemerintahan Ali Bin Abi Thalib, meskipun pada taraf klasifikasi I’rab. Lalu di kembangkan kembali oleh para filolog pada Abad ke 7 sperti Halil Bin Ahmad dan Syibaweih seorang filolog Bagdad, hingga pada masa nahdah atau masa kebangkitan bangsa arab pada abad 18 yang ditokohi oleh Al-Zabi’diy.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa terdapat banyak lahjah atau dialek pada Bangsa Arab sebelum terjadi pembakuan, pada saat itulah terjadi yang namanya pertarungan bahasa atau biasa kita kenal dengan istilah Shiraa’ul lughoh. Lahjah bahasa Tamim dan Quraisy merupakan dua lahjah yang lebih menonjol di antara lahjah-lahjah arab lainnya. Disebutkan bahwa bahasa Quraisy lebih baik dari bahasa Arab lainnya karena kefasihan lafaz-lafaznya, mudah diucapkan dan lebih indah didengarkan serta lebih jelas penjelasannya.  Maka dalam pertarungan bahasa atau Shiro’ul lughoh  itu yang menjadi pemenangnya adalah dialek atau lahjah Quraisy. Dialek Quraisy tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat, diantara faktor pendorongnya adalah:
Faktor ekonomi, orang dari suku-suku Quraisy pada waktu itu menguasai sumber-sumber ekonomi masyarakat.
Faktor agama, Makah menjadi kota yang di sucikan dan mempunyai tempat peribadatan yang di sucikan yaitu Ka’bah.
Bahasa pengantar, di dalam melakukan permusyawarahan antar suku, dialek Quraisy yang dipakai sebagai bahasa pengantarnya untuk seluruh wilayah Jazirah Arab.
Karya seni, Sebelum datangnya Islam ada yang dinamakan pasar seni, pasar seni ini adalah pasar Ukaz dan pasar Majanah, pada bulan-bulan tertentu dua pasar tersebut diramaikan oleh kegiatan perdagangan dan sekaligus kegiatan perlombaan untuk melantunkan sya’ir-sya’ir yang ditulis oleh pujangga-pujangga arab, pujangga-pujangga ini merupakan utusan-utusan dari tiap-tiap suku, yang kemudian disaksikan oleh berbagai pengunjung yang datang dari berbagai daerah. Karya-karya pujangga yang menang dalam perlombaan itu maka hasil karyanya akan digantungkan pada dinding Ka’bah dan ditulis dengan tinta Emas. Dari kegiatan seperti inilah yang kemudian diakek Quraisy ini memdominasi diakek-dialek arab lainnya.
Islam dan Al-Qur’an, Setelah datangnya Islam yang disertai turunnya Al-Qur’an maka bahasa Arab kini menjadi sangat sempurna dalam ilmu kebahasaan dan dalam ilmu yang lainnya, Al-Qur’an memuat berbagai struktur kalimat/ jumlah yang sangat kaya, munculnya kosakata – kosakata baru yang mempunyai makna yang sangat dalam dan tinggi, gaya bahasa yang sangat indah. Kemudian pada awal datangnya Islam, Rasulullah melarang kepada para penyair arab untuk tidak membuat lagi sya’ir-sya’ir yang bernuansakan sanjungan percintaan, caci maki , ratapan-ratapan tetapi harus sya’ir-sya’ir yang memiliki nilai-nilai moral agama.
Perluasan wilayah kekuasaan Islam, akibat terjadinya berbagai kemenangan dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam maka bahasa Arab kini menjadi bahasa resmi di berbagai negara seperti Maroko, Al-Jazair, Libia, Mesir,Sudan, Suriah, Irak dan Iran, disamping daerah-daerah yang berada diwilayan Jazirah Arab.
Di dalam bahasa Arab, kemudian dialek Qurais dijadikan sebagai lingua franca atau bahasa penghubung antar kabilah di wilayah semenanjung arab. Hal ini merupakan fenomena diglosia (situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa) dengan dijadikannya dialek Quraisy sebagai penghubung, sekaligus bahasa standar, dan ragam bahasa non standar adalah dialek-dialek lokal dari tiap tiap kabilah. Untuk selanjutnya bahasa yang telah distandarkan ini disebut dengan Bahasa fusha.  
Dengan bahasa standar itu, membaca kitab “Ar-Risalah” yang ditulis sebelas abad yang lampau tidak berbeda dengan membaca tulisan yang baru dicetak kemarin. Dengan menguasai bahasa Arab standar, siaran radio berbahasa Arab, dari negara manapun, dapat dimengerti tanpa hambatan yang berarti. Sebab pola kata, kalimat, dan gaya bahasa yang dipergunakan, dalam dua kasus di atas, sama. Bahasa Arab standar ini contoh konkretnya adalah bahasa Arab yang dipergunakan dalam setiap komunikasi dengan teratur, seperti pada contoh yang telah disebutkan di atas. Artinya, pemakaian bahasa Arab Fusha itu mempunyai aturan yang disebut dengan tata bahasa. Kosa kata yang dipergunakan dalam komunikasi tidak terlepas terpisah-pisah secara bebas tanpa aturan tertentu, tetapi senantiasa mengikuti kebiasaan-kebiasan secara otomatis dalam bahasa Arab yang selanjutnya kebiasaan-kebiasaan itu dijadikan kaedah-kaedah bahasa Arab. Kaedah-kaedah itu dikenal dengan ilmu nahwu dan sharaf. Dengan aturan itu maka bahasa Arab yang dipergunakan sejak zaman Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dapat dipahami dengan mudah oleh generasi berikutnya sampai generasi jauh di masa-masa yang akan datang. Bahasa Arab Fusha ini tidak mengalami nasib seperti bahasa asing lainnya yang sulit dipahami oleh generasi berikutnya. Mengenai hal ini Ghazzawi, seorang pakar bahasa  menyatakan:
… since classical Arabic has change so little since Muham-mad’s time, Arab today can read Arabic written in seventh or eighth century without too much difficult. This is quite different from the situation in English, as we can not read Old English texts without special study, as though for foreign language (Sabah Ghazzawi).
Bahasa Arab Fusha itu sering dicontohkan dengan Qur’an dan syair-syair Arab. Demikian juga teks-teks hadis menjadi contoh bahasa Arab Fusha karena diucapkan oleh Rasululah SAW yang berasal dari suku Quraisy. Jadi bahasa Arab Fusha ini kosa kata dan aturan pemakaiannya disepakati oleh suku-suku Arab. Bahasa Arab Fusha ini yang menjadi materi pembelajaran bahasa Arab, yang sekarang ini diupayakan strategi pengembangan pendidikannya. Suka atau tidak suka, bahasa Arab Fusha itu akan menjadi bahasa yang hidup dan terpelihara, karena merupakan kristalisasi bahasa suku-suku Arab. Bahasa Arab Fusha itu disepakati dan difungsikan sebagai alat komunikasi untuk semua bangsa Arab.Pada akhirnya tidak ada alasan lagi untuk tidak mempelajari bahasa Arab Fusha.
Standar Pembakuan Bahasa Arab dan Ilmu Nahwu
    Sumber-sumber  yang dijadikan sebagai penetapan ukuran bahasa fusha menurut ahli bahasa arab adalah sebagai berikut:
1. al-Qur’an al-Karim
Al-Qur’an merupakan standar bahasa fusha yang tertingi, dan contoh terbaik bagi bahasa satra yang disepakati secara umum.Oleh karena itu ahli bahasa sepakat untuk mengakuinya dan menerima setiap kaedah yang berasal dari al-Qur’an.
2. Al-qira’ah al-Qur’aniyah
Qira’at qur’aniyah yaitu bentuk-bentuk qira’ah yang diperbolehkan oleh Nabi saw dalam membaca al-Qur’an dengan tujuan mempermudah.
3. Al-Hadits al-Nabawi al-Syarif
Dalam menetapkan hadits nabi sebagai standar bahasa yang baku, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahli bahasa modern (muhaditsin). Sedangkan ahli bahasa klasik (mutaqaddimin) sepakat untuk menjadikan hadits nabi sebagai sumber standar bahasa yang benar, dengan menyertakan sebagaian hadits-hadits tersebut dalam buku-buku mereka, meskipun sedikit.
4. As-Syi’r (sya’ir-sya’ir)
Ahli bahasa memberikan perhatian yang besar terhadap syair arab klasik dan menganggapnya sebagai dasar awal peletakan bahasa baku dalam bahasa arab.  Seperti dikatakan bahwa syair itu diwan orang arab.Syair Arab klasik terdapat penetapan secara baku aturan-aturan dalam berbahasa,  sehinggga benar atau salahnya bahasa seseorang dapat diukur dengan merujuk ke syair.
5. Al-Syawahid An-Natsriyah
Natsar yang dijadikan sebagai sumber standar bahasa baku adalah yang berupa, khutbah (pidato), wasiat (nasehat), amtsal (perumpamaan) dan hikmah. Dan semua itu dianggap sebagai bagian sastra yang penting dan memiliki kedudukan sama dengan syair.
Sebagian peneliti mengungkapkan penelitian mereka tentang proses pembakuan bahasa Arab fusha serta dasar-dasar ilmiah dalam proses pembakuan tersebut, dan tingkat kesepakatan terhadap dasar-dasar ilmiah serta tingkat konsistensi pijakan terhadap dasar-dasar ilmiah dalam proses pembakuan, para peneliti tersebut menyimpulkan empat dasar pijakan proses pembakuan yakni dasar wilayah, Kurun Waktu, kuantitas data dan kuntitas informan. Tidak ada kesepakatan terhadap dasar pembakuan tersebut serta tidak adanya badan khusus dalam proses pembakuan tersebut.
Hubungan Bahasa Arab Fusha dengan ilmu Nahwu
Setiap Negara memiliki satu bahasa resmi atau bahasa kebangsaan. Bahasa itu menjadi istimewa dengan adanya ketetapan/ kaedah tata bahasa. Dan selalu digunakan dalam penulisan resmi dalam segala urusan di satu Negara atau antara beberapa Negara yang menggunakan bahasa yang sama. Bahasa ini juga digunakan dalam menterjemahkan buku-buku ilmiah. Dan segala urusan administrasi Negara atau pidato-pidato resmi kenegaraan begitu juga dengan segala urusan yang bersifat fomal. Biasanya bahasa tulisan lebih fusha dari bahasa lisan. Dan dalam bahasa fusha tidak ditemukan bahasa ‘amiyah. Dalam bahasa Arab, yang menjadi tolak ukur kebakuan bahasanya atau kefushahan lughohnya adalah kaidah tata bahasanya yang disebut dengan  Nahwu. Maka peran ilmu nahwu begitu berarti. Bahasa Arab Fusha senantiasa teratur dan sesuai dengan kaedah-kaedah bahasa. Untuk mempergunakan bahasa Arab Fusha diperlukan ilmu nahwu. Demikian pula sebaliknya, ilmu nahwu menjadi tidak ada gunanya bila bahasa yang dipergunakan adalah bahasa ‘Amiyah. Jadi peran ilmu nahwu tergantung pada keadaan bahasa Arab yang dipergunakan. Ditinjau dari strategi pendidikan bahasa Arab, maka makin sempurna bahasa Arab yang diajarkan makin maksimal peran ilmu nahwu, dan makin tidak teratur bahasa yang diajarkan, semisal bahasa ‘Arab ‘Amiyah, makin tidak berperan pula ilmu nahwu.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pembakuan atau standarisasi bahasa adalah proses penentuan ukuran atau norma rujukan yang digunakan atau dapat digunakan sebagai kerangka rujukan atau patokan dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Begitu juga Bahasa Arab yang kita kenal sekarang, ia telah mengalami proses pembakuan sebelumnya, dimulai sejak abad ke 5 M. Dibakukannya Bahasa arab menjadi Bahasa fusha disebabkan oleh berbagai  alasan, seperti kepentingan agama, politik, pemerintahan, pemersatu bangsa, dan ciri identitas. Bahasa arab yang dibakukan sekarang mengikuti lahjah dan dialek Quraisy, yang menjadi pemenang pada pertarungan Bahasa pada masanya. Sebab-sebab unggulnya lahjah Quraisy adalah karena faktor ekonomi, faktor agama, faktor pemerintahan dan seni.
Sumber-sumber pembakuan Bahasa Arab berasal dari Al-Qur’an, Hadits Nabi, sya’ir-sya’ir, karya-karya sastra dan Qiro’ah Qur’aniyyah. Hingga sekarang, tata bahasa yang mengikat bahasa Arab disebut dengan Nahwu, sehingga Bahasa Arab menjadi stabil meski ia adalah meru[akan bahasa tertua di dunia.

Saran
Tak ada gading yang tak retak, maka seperti itu pulalah makalah kami ini, tak lepas dari kurang dan cacat, oleh karena itu, kritikan dari dosen pembimbing ataupun saudara- saudara yang bersifat membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan kedepannya.Demikian makalah yang kami susun, semoga bisa dimanfaatkan dan bermanfaat bagi setiap pihak.




“ yanfudzu maa laa tanfudzul libaas”


DAFTAR PUSTAKA

Poedjoesoedarmo, Soepomo. 2003. Filsafat Bahasa. Surakarta, Muhammadiyyah university Press
TaufiQurrohman, H.R. 2008 cet 1.  Leksikologi Bahasa Arab. Malang, UIN Malang Press
Jatisarwoedy.blogspot.com/2010/09/pembakuan-bahasa (standarisasi), diakses pada 14 April 2014, 10:43 am
http://subpokbarab.wordpress.com/2008/05/09/bahasa-arab-dan-pengkodifikasiannya, diakses 14 April 2014, 01:48 pm
http://standar-berbahasa-yang-benar-antara.html. Diakses pada 14 April 2014, 10:45 am
http:// Fakultas Adab  Bahasa Sasaran  Dari Amiyah ke Fusha.html. Diakses pada 14 April 2014, 01:45 pm
http:// Fakultas Adab  Bahasa Sasaran  Dari Amiyah ke Fusha.htm. Diakses pada 14 April 2014, 10:55 am
http://methiafarina.blogspot.com/2012/05/standar-standar-bahasa-fusha.html. Diakses pada 14 april 14,  jam 10:45 am












SUMMMARY
Pembakuan atau standarisasi bahasa adalah proses penentuan ukuran atau norma rujukan yang digunakan atau dapat digunakan sebagai kerangka rujukan atau patokan dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan
Tahap-tahap standarisasi; Pemilihan (selection), Kodifikasi, Sosialisasi, dan Persetujuan.
Dibakukannya Bahasa arab menjadi Bahasa fusha disebabkan oleh berbagai  alasan, seperti kepentingan agama, politik, pemerintahan, pemersatu bangsa, dan ciri identitas.
faktor pendorong menangnya lahjah/ Bahasa Quraisy dalam pertarungan bahasa  a/l:
Faktor Ekonomi c. Bahasa pengantar e. perluasan wilayah Islam
Faktor Agama d. adanya pasar seni f. Islam dan al-Qur’an
Sumber-sumber  yang dijadikan sebagai penetapan ukuran standarisasi bahasa arab:
al-Qur’an al-Karim c. Al-Hadits al-Nabawi e. Al-Syawahid An-Natsriyah
Al-qira’ah al-Qur’aniyah d. As-Syi’r (sya’ir-sya’ir)
Standar baku Bahasa arab terikat dalam kaidah nahwu. Untuk mempergunakan bahasa Arab Fusha diperlukan ilmu nahwu. Demikian pula sebaliknya, ilmu nahwu menjadi tidak ada gunanya bila bahasa yang dipergunakan adalah bahasa ‘Amiyah. Jadi peran ilmu nahwu tergantung pada keadaan bahasa Arab yang dipergunakan
SUMMMARY
Pembakuan atau standarisasi bahasa adalah proses penentuan ukuran atau norma rujukan yang digunakan atau dapat digunakan sebagai kerangka rujukan atau patokan dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan
Tahap-tahap standarisasi; Pemilihan (selection), Kodifikasi, Sosialisasi, dan Persetujuan.
Dibakukannya Bahasa arab menjadi Bahasa fusha disebabkan oleh berbagai  alasan, seperti kepentingan agama, politik, pemerintahan, pemersatu bangsa, dan ciri identitas.
faktor pendorong menangnya lahjah/ Bahasa Quraisy dalam pertarungan bahasa  a/l:
Faktor Ekonomi c. Bahasa pengantar e. perluasan wilayah Islam
Faktor Agama d. adanya pasar seni f. Islam dan al-Qur’an
Sumber-sumber  yang dijadikan sebagai penetapan ukuran standarisasi bahasa arab:
al-Qur’an al-Karim c. Al-Hadits al-Nabawi e. Al-Syawahid An-Natsriyah
Al-qira’ah al-Qur’aniyah d. As-Syi’r (sya’ir-sya’ir)
Standar baku Bahasa arab terikat dalam kaidah nahwu. Untuk mempergunakan bahasa Arab Fusha diperlukan ilmu nahwu., ilmu nahwu menjadi tidak ada gunanya bila bahasa yang dipergunakan adalah bahasa ‘Amiyah. Jadi, perannay tergantung bahasa yang digunakan.

Fungsi Bahasa

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang.
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Seseorang memerlukan bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi dalam kehidupan sosial. Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Hal ini merupakan fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial.
Bahasa sebagai sarana komunikasi antar manusia, tanpa bahasa tiada komunikasi. Tanpa komunikas, apakah manusia dapat bersosialisasi? Dan apakah manusia layak disebut dengan makhluk sosial ? sebagai saran komunikasi maka segala yang berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa.
Dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berpikir seseorang dan tiada batas dunia baginya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wittgenstein yang menyatakan “Batas bahasaku adalah batas duniaku”.

Rumusan Masalah.
Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah :
Apakah fungsi bahasa menurut Halliday ?
Apakah fungsi bahasa menurut finachiaro?
Apakah fungsi bahasa secara umum?

Tujuan Penulisan.
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
Untuk mengetahui fungsi bahasa menurut Halliday.
Untuk mengetahui fungsi bahasa menurut Finachiaro.
Untuk mengetahui fungsi bahasa secara umum.













BAB II
PEMBAHASAN

Bahasa memegang peranan penting dan suatu hal yang lazim dalam hidup dan kehidupan manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatikan bahasa dan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa, seperti bernapas dan berjalan. Padahal bahasa termasuk hal yang dapat membedakan manusia dari ciptaan lainnya. Sebagaimana yang diutarakan oleh Ernest Cassirer dan dikutip oleh Jujun, bahwa keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuan berbahasanya.

Fungsi bahasa menurut Halliday.
Menurut Halliday sebagaimana yang dikutip oleh Thaimah bahwa fungsi bahasa adalah sebagai berikut :
Fungsi Instrumental.
Penggunaan bahasa untuk mencapai suatu hal yang bersifat materi, seperti makan, minum, dll.
Fungsi Regulatoris.
Penggunaan bahasa untuk memerintah dan perbaikan tingkah laku.
Fungsi Interaksional.
Penggunaan bahasa untuk saling mencurahkan perasaan pemikiran antara seseorang dan orang lain.
Fungsi Personal.
Seseorang menggunakan bahasa untuk mencurahkan perasaan dan pikiran.
Fungsi Heuristik.
Penggunaan bahasa untuk mencapai mengungkap tabir fenomena dan keinginan untuk mempelajarinya.
Fungsi Imajinatif.
Penggunaan bahasa untuk mengungkapkan imajinasi seseorang dan gambaran-gambaran tentang discovery seseorang dan tidak sesuai dengan realita (dunia nyata).
Fungsi Representasional.
Penggunaan bahasa untuk menggambarkan pemikiran dan wawasan serta menyampaikannya pada orang lain.






Fungsi bahasa menurut Finachiaro.
Salah seorang ahli bahasa, Finachiaro mengadakan pembagian fungsi bahasa manjadi :
Fungsi Personal.
Penggunaan bahasa untuk menyatakan diri. Ukurannya adalah hal yang disampaikan itu berasal dari diri atau bukan.
Fungsi Interpersonal.
Penggunaan bahasa yang menyangkut hubungan antarperson. Fungsi bahasa yang demikian diarahkan untuk membina hubungan sosial. Dampak yang menonjol adalah terciptanya hubungan antara pemakai bahasa tersebut.
Fungsi Direktif.
Penggunaan bahasa untuk mengatur orang lain. Menurut Fasold (1984), pemakaian bahasa direktif membawa resiko. Di samping penutur harus menyampaikan bentuk bahasa yang sesuai penutur juga harus menganalisis situasi sosial serta budaya yang berlaku.
Fungsi Referensial.
Penggunaan bahasa untuk menampilkan referen (sesuatu yang dimaksud). Dengan fungsi itu, pemakai bahasa mampu membicarakan apa saja yang berkenaan dengan lingkungannya.
Fungsi Imajinatif.
Penggunaan bahasa untuk menciptakan sesuatu dengan imajinasi. Karya-karya sastra seperti puisi, prosa, roman, novel, dan lain-lain merupakan karya-karya yang lahir berkat fungsi bahasa sebagai alat untuk berimajinasi. Menuru Finachiaro, fungsi imajinasi ini sukar dipelajari/diajarkan. Bakat yang ada pada diri yang bersangkutan ikut menentukan berkembangnya kemampuan manusia untuk berimajinasi dengan bahasa.

Fungsi bahasa secara umum.
Adapun fungsi bahasa secara umum yaitu :
Sebagai alat berkomunikasi.
Dikatakan bahwa bahasa ialah alat untuk berkomunikasi. Berkomunikasi pada dasarnya ialah menyampaikan maksud. Maksud itu ada bermacam-macam, ada yang bersifat instinctive dan ada juga yang bersifat manusiawi. Yang bersifat instictive ialah komunikasi seperti yang dijalankan oleh hewan, yang biasanya bersifat emotive (berseru, mengelu, menyatakan rasa lega, meneriakan perintah atau larangan). Yang bersifat manusiawi ialah komunikasi yang berbentuk pertanyaan, jawaban, memberitahu, dan menanggapi.
Sebagai alat penyampai rasa santun.
Masyarakat yang hanya mempunyai satu bahasa menggunakan ragam tutur untuk membedakan situasi yang resmi, tak resmi, indah, dan sakral. Dalam keadaan santai ragam informal yang dipakai, dalam suasana resmi ragam formal dipakai, dalam situasi yang indah romantis ragam susastra yang dipakai, dan dalam situasi sakral ragam sakral yang dipakai.
Ragam formal sering bebrbentuk sama dengan apa yang dinamakan bahasa baku atau ragam bahasa standar. Ragam informal kadang-kadang terdiri dari dialek bahasa yang sama, tetapi yang bukan kata baku. Kadang-kadang juga, ragam informal itu terdiri dari “penyantaian” bahasa standar itu. Kata-katanya sering tidak diucapkan secara penuh, aturan tata kalimatnya sering tidak ketat, kata-kata yang terkini sering diganti dengan kata-kata yang umum saja. (Poedjosoedarmo, 1978).
Sebagai penyampai rasa keakraban dan hormat.
Di dalam masyarakat, orang yang satu harus berhubungan dengan orang lain. Di dalam relasi ini orang dituntut menentukan sikapnya, yaitu akan menganggap lawan tutur sebagai orang yang perlu dihormati atau tidak.
Jadi, di samping berfungsi sebagai pembawa nuansa makna santai, resmi, indah, dan sakral, ada ragam tutur yang dapat digunakan untuk membawakan rasa keakraban hubungan dan rasa hormat.
Di dalam masyarakat bilingual atau multilingual, bahasa-bahasa yang dipakai kadang-kadang dapat berfungsi seperti tingkat tutur ini. Ada bahasa yang dianggap lebih pantas untuk menyampaikan rasa hormat daripada bahasa yang lainnya. Biasanya, bahasa yang memiliki standarisasi yang baiklah yang dianggap hormat, dengan kata lain, bahasa yang biasanya dipakai sebagai bahasa nasional, yang baku, itulah yang dianggap baik untuk menyampaikan rasa hormat ini. Itulah sebabnya di kebanyakan masyarakat bilingual atau multilingual, bahasa nasional ini juga menjadi bahasa penyampai rasa hormat.
Sebagai alat pengenalan diri.
Setiap pribadi, karena keadaan fisik dan kejiwaannya yang unik, mempunyai idioleknya sendiri-sendiri. Walaupun aturan, sintaksis, morfologi dan fonologi itu seragam, tetapi setiap orang mempunyai gaya bicaranya masing-masing. Setiap orang mempunyai kecenderungannya sendiri-sendiri di dalam memilih dan menggunakan berbagai cara mengucapkan bunyi. Setiap orang mempunyai keanehan-keanehannya sendiri di dalam cara membentuk kata dan kalimat, cara menaati sopan santun bahasa dan memilih ragam dan tingkat tutur, cara mengacu kepada orang yang dipercakapkannya, cara mengorganisasi wacananya, dan cara menyalurkan isi kejiwaannya.
Sebagai alat penyampai rasa solidaritas.
Kalau identitas seorang individu ditandai oleh idiolek, maka identitas kelompok anggota masyarakat tertentu ditandai oleh dialek. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual, kelompok itu bahkan ditandai oleh bahasa.
Bahasa atau dialek memang dapat dipakai sebagai tanda dari mana orang berasal. Segi apanyakah yang dapat dipakai sebagai tanda itu ? segi cara mengucapkan bunyi-bunyi konsonan atau vokal atau intonasi kalimatnya. Mungkin juga perbedaan dalam bentuk kata serta istilah yang terpakai. Ada juga perbedaan dalam idiom atau ungkapan-ungkapan tertentu. Atau perbedaan dalam strategi bercakap secara keseluruhannya.
Mengapa dialek atau bahasa yang sama dapat menimbulkan rasa solidaritas ?
Sebabnya ialah karena dialek atau bahasa yang sama itu adalah milik penutur bersama. Bukan saja milik mereka bersama, tetapi hasil kreasi mereka bersama. Anggota masyarakat bukan saja secara bersama menggunakan dialek atau bahasa itu, melainkan juga menghasilkan inovasi-inovasi secara bersama dan melupakan hal yang tak perlu secara bersama. Siapakah yang menjadikan dialek itu berbeda dengan dialek yang lain kalau bukan seluruh anggota masyarakat dalam kawasan dialek atau bahasa itu.

Sebagai alat penopang kemandirian bangsa.
Berhubungan erat dengan fungsinya sebagai pemupuk rasa solidaritas, bahasa juga dapat dipakai sebagai alat penunjang rasa kemandirian bangsa. Suatu bangsa biasanya mempunyai bahasa sendiri untuk mengekspresikan dirinya tanpa didikte oleh bangsa lain. Bahasa yang tersendiri ini diperlukan, karena bangsa itu biasanya memiliki segi-segi kehidupan yang khusus, yang tak dimiliki oleh bangsa lain.
Sebagai alat menyalurkan uneg-uneg.
Melalui variasi bentuknya yang sesuai dengan warna perasaan yang ada pada seseorang individu, bahasa juga dapat dipakai sebagai penyalur tekanan jiwa. Dalam hidupnya seseorang individu sering dirundung perasaan yang berat, pikiran yang mendalam, serta keinginan mengerjakan sesuatu yang keras. Kalau saja hal-hal yang merundung itu dapat diekspresikan, kadang-kadang orang lalu merasa lega. Tekanan perasaan dll akan berkurang. Tetapi sebaliknya, kalau hal itu tidak dikatakan kepada orang lain, kalau hanya ditahan saja di dalam diri sendiri, letupan emosi yang keras pun dapat timbul.
Sebagai cermin peradaban bangsa.
Ada pepatah bahasa Melayu yang berbunyi bahasa yang menunjukkan bangsa. Maksudnya antara lain ialah bahwa ada kesopanan yang terkandung di dalam bahasa itu sering mencerminkan tingginya martabat seseorang.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa ada beberapa hal dari bahasa itu yang dapat dipakai untuk menandai maju dan mundurnya kebudayaan sesuatu bangsa. Perbendaharaan unsur fonologi dan morfosintaksis kiranya tak dapat dipakai sebagai cermin kemajuan kebudayaan itu. Tetapi perbendaharaan kata dan idiom jelas mencerminkan ide dan pengalaman-pengalaman yang pernah dan sedang dihayati oleh sesuatu bangsa.



















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan.
Fungsi bahasa menurut Halliday:
Fungsi Instrumental.
Fungsi Regulatoris.
Fungsi Interaksional.
Fungsi Personal.
Fungsi Heuristik.
Fungsi Imajinatif.
Fungsi Representasional.

Fungsi bahasa menurut Finachiaro:
Fungsi Personal.
Fungsi Interpersonal.
Fungsi Direktif.
Fungsi Referensial.
Fungsi Imajinatif.

Fungsi bahasa secara umum:
Sebagai alat berkomunikasi.
Sebagai alat penyampai rasa santun.
Sebagai penyampai rasa kehormatan dan akrab.
Sebagai alat pengenalan diri.
Sebagai alat penyampai rasa solidaritas.
Sebagai alat penopang kemandirian bangsa.
Sebagai alat menyalurkan uneg-uneg.
Sebagai cermin peradaban bangsa.

Saran.
Setelah pemaparan makalah di atas, penulis mengharapkan agar para saudara/i dapat mengambil pelajaran yang bermanfaat dan menjadikan motivasi dalam mempelajari serta mendalami bahasa Arab. Amin ya robbal alamin.







DAFTAR PUSTAKA

Poedjosoedarmo, Soepomo, Filsafat Bahasa, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2003.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2010.
http://aldyforester.wordpress.com/2013/03/24/pengertian-dan-fungsi-bahasa/
http://amossinaga1992.blogspot.com/2013/03/fungsi-bahasa.html
http://riskaulfa.blogspot.com/2013/12/makalah-pengantar-linguistik-fungsi.html
http://jimmyandrio.blogspot.com/2013/09/bahasa-indonesia-hakikat-fungsi-dan.html
http://www.referensimakalah.com/2012/08/fungsi-bahasa-dalam-kajian-linguistik.html

Teori Asal Mula Bahasa

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pertanyaan tentang bagaimana bahasa itu muncul sama dengan pertanyaan bagaimana awal mula dari sebuah kehidupan. Para ahli bahasa sudah sekian lama mengembara dengan penelitiannya tentang asal mula bahasa dan telah melahirkan beberapa teori, mulai yang coraknya sangat tradisional sampai kepada yang agak modern, namun belum ada satupun yang dapat memberikan keyakinan dan kejelasan yang pasti. Satu hal, karena dokumen-dokumen tertulis yang dapat membantu memberikan informasi valid tentang hal ini, relatif tidak mampu dipertanggungjawabkan. Dan diketahui bahwa, munculnya bahasa tulisan sekian juta tahun setelah sebelumnya dimana bahasa lisan telah dijadikan sebagai media untuk berhubungan diantara sesama manusia.
Walaupun rekaman fisikal nenek moyang kita dapat memberikan pencerahan tentang wujud bahasa pada tahap-tahap awal kehidupan manusia, namun demikian hingga kini tetap dalam misteri. Kemisteriusan asal mula bahasa ini, ternyata mampu mendorong bahkan semakin menguatkan semangat untuk terus mencoba, menela’ah dan mencari jawabannya.
Adalah tidak dapat dibantah, bahwa binatang maupun tumbuhan juga memiliki bahasa. Meskipun beberapa binatang dapat diajar untuk melakukan sesuatu termasuk diantaranya mengucapkan kata-kata tertentu, namun kemampuan manusia dalam berbahasa disertai dengan kemampuan manusia menetapkan aturan-aturan berbahasa. Bahkan manusia mampu membuat urutan-urutan Paling rumit sekalipun, dari bunyi-bunyi yang tidak bermakna menjadi memiliki makna yang pasti. Dari sini semakin terkuak jelas, bahwa munculnya bahasa di jagad semesta, terkhusus di planet yang kita huni ini sama sekali tidak mendahului munculnya manusia itu sendiri.

Rumusan Masalah
Teori apa sajakah yang mendasari asal mula bahasa?




BAB II
PEMBAHASAN

Asal Mula Bahasa
Pembahasan tentang asal mula bahasa, implisit didalamnya tentang bagaimana manusia memulai bebrbicara. Telah banyak penilitian yang dilakukan tentang asal mula bahasa, termasuk meneliti proses berbahasa seorang anak, memiliki bahasa yang tak bersistem seperti bahasa daun, bahasa binatang, dan meneliti tentang hubungan bahasa dengan perkembangan intelegensi manusia
Berikut ini penulis akan memaparkan teori asal mula bahasa yang meliputi teori yang bersumber dari Tuhan, bunyi alam, isyarat lisan, dan teori yang mendasarkan pada kemampuan manusia secara fisiologis., bahasa merupakan kesepakatan dan muncul secara spontanitas, bahasa bersumber dari potensi dalam diri manusia.

Bahasa bersumber dari Tuhan
Terdapat pandangan bahwa bahasa bersumber dari Tuhan. Menurut ajaran  Islam, Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Adam nama-nama benda (Q.S. Al-Baqarah : 31 ) dan penciptaan bahasa yang bermacam-macam itu merupakan tanda kebesaran Allah ( Q.S. al-Rum : 22 ). Dan menurut agama Hindu, bahasa diciptakan oleh Dewi Saraswati, istri Dewa Brahma, sang pencipta alam. Menurut kisah dalam “kejadian” (injil, kejadian 2 : 19), manusia diciptakan dalam imajinasi Tuhan dan kemampuan bahasa salah satu dari sifat manusia.
Dalam doktrin berbagai agama dijelaskan bahwa, Tuhan melengkapi penciptaan manusia dengan bahasa. Akan tetapi, kisah dalam ajaran-ajaran itu belum membantu kita untuk mengetahui kapan dan bagaimana manusia memulai berbicara dan bahasa apa yang digunakan. Dalam upaya menemukan kembali bahasa asli yang bersumber dari Tuhan. Beberapa eksperimen telah dilakukan.
Penganut teori ini diantaranya : Filosof Yunani kuno Heraklitos, ahli Lugah Bahasa Arab Ibnu Faris dalam kitabnya al-shahibi, dan banyak lagi dari ahli linguist modern diantaranya Abu Lami dalam kitabnya Fann al-Kalam.

Bahasa bersumber dari bunyi alam
Menurut teori ini asal mula bahasa manusia didasarkan pada konsep bunyi alam. Salah seorang penganut teori ini seorang Filosof Yunani kuno, Socrates. Menurutnya, penerimaan bunyi-bunyi tindakan merupakan dasar asal mula bahasa dan merupakan alasan mengapa nama “yang benar” dapat ditemukan untuk benda-benda yang dapat menghasilkan bunyi.
Menurut penganut teori ini, kata-kata yang paling sederhana dapat merupakan tiruan bunyi alam yang didengar oleh manusia di lingkungannya. Kenyataan bahwa banyaknya bahasa modern yang memiliki beberapa kata yang mirip dengan bunyi alam dapat digunakan untuk mendukung teori ini. Seperti dalam bahasa Indonesia kata “tokek” adalah nama binatang yang namanya sama dengan bunyinya. Dalam bahasa Jawa terdapat kata “Cicit” dan “Embik”, digunakan sebagai sebutan nama-nama binatang yang berbunyi dalam kedua kata iyu, yaitu tikus dan kambing. Dalam bahasa Inggris, terdapat kata “Cuckoo” yang merupakan bunyi burung yang dijadikan nama burung itu sendiri. Seorang peneliti Jerman Max Muller menyebut teori ini dengan teori “bow-bow”, karena kata “bow-bow” adalah bunyi salah satu anjing.
Terdapat beberapa bantahan dari teori ini, diantaranya, pertama, Sekalipun bahsa-bahasa tertentu ada kemiripannya dengan bunyi-bunyi tertentu, tapi ternyata banyak benda-benda yang tidak berbunyi, apalagi benda abstrak. Kedua, Tidak semua bunyi-bunyian menghasilkan bahasa yang sama atau suara/bunyi yang sama sering menghasilkan bahasa yang berbeda. Misalnya menirukan bunyi kokok ayam jantan, orang Jawa menyebutnya “Kukuruyuk”, orang inggris menyebutnya “cock-a-doodle-doo”, orang Perancis dan Spanyol menyebut “Cocorico”, orang Itali menyebut “Chichirichi”, sedangkan orang Cina menyebut “Wag-wag”.

Bahasa bersumber dari Bahasa Lisan
Menurut teori ini bahasa dihasilkan dari adanya hubungan antara isyarat fisik dan bunyi-bunyi yang dihasilkan secara lisan. Pada abad -19, Darwin menyodorkan hipotesis bahwa bahasa berasal dari “Pantomim mulut”. Hal ini berarti organ-organ vokal secara tidak sadar menurunkan isyarat-isyarat yang dilakukan oleh anggota tubuh yang lain. Bahasa bermula dari peniruan gerakan dari isyarat-isyarat tubuh secara verbal, berhubungan dengan mulut dan lidah, sehingga membuat orang dapat berbicara. Sepintas teori ini memang benar karena isyarat fisik yang melibatkan anggota tubuh, dapat menjadi alat untuk menyampaikan serangkaian makna, misalnya banyak manusia yang menggunakan mata, tangan, mimik muka, dan anggota tubuh lain dalam berkomunikasi.
Tampaknya teori ini tidak dapat melepaskan diri dari bantahan bahwa, kita memang dapat menggunakan mimik muka atau isyarat khusus untuk tujuan komunikasi, tetapi sulit sekali mengetahui “aspek lisan” yang sebenarnya akan mencerminkan isyarat-isyarat khusus itu. Disamping itu, terdapat banyak pesan bahasa yang tidak mungkin dapat disampaikan melalui jenis isyarat itu.

Bahasa bersumber dari adaptasi fisiologis
Teori lain dari asal mula bahasa manusia memfokuskan pada aspek-aspek fisik manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Faktor fisikal yang dimiliki manusia menyebabkan manusia mampu berbahasa.
Gigi manusia misalnya, berjajar tegak, tidak mengarah keluar seperti gigi kera, dan gigi manusia mempunyai ketinggian yang cukup teratur, ciri seperti itu tidak diperlukan untuk makan, tetapi sangat membantu dalam membuat bunyi-bunyi seperti “F”. Bibir manusia mempunyai saraf lebih banyak dan terjalin rumit dibanding dengan makhluk lain serta keluwesan jalinan saraf itu jelas membantu manusia menuturkan bunyi seperti, p, b, dan . mulut manusia relatif kecil, dapat dibuka dan ditutup dengan cepat dan mempunyai bidang sangat lentur yang dapat digunakan untuk membuat gerakan-gerakan bunyi.

Bahasa adalah hasil kesepakatan dan muncul secara spontanitas
Menurut teori ini, bahasa muncul secara spontanitas dan selanjutnya disepakati bersama oleh masyarakat penuturnya. Penganut teori ini adalah filosof yunani kuno (filosof abad -5 SM), Democritos, dan filosof modern Inggris Adam Smith, Reid dan Dugald Stewart.
Diantara kerancuan teori ini, bahwa ketika bahasa merupakan hasil kesepakatan, berarti pada fase-fase pertama munculnya manusia diplanet bumi ini, sudah terbentuk menjadi suatu masyarakat. Padahal penciptaan manusia tidak serta merta terbentuk menjadi suatu masyarakat, melainkan “memasyarakatkan” manusia melalui proses atau lebih tepatnya melalui evolusi.

Bahasa bersumber dari potensi dalam diri manusia
Menurut teori ini, manusia mampu berbahasa karena terdapat potensi kebahasaan dalam dirinya. Dengan adanya bantuan dari kemampuan anggota tubuh tertentu, potensi ini menyebabkan manusia mampu mengungkapkan apa yang diinginkannya dengan bahasa yang tersusun. Dan karena potensi inilah, maka cara “ pengungkapa” itu hampir sama bagi setiap orang pada tahap awal, sampai akhirnya mereka bisa saling memahami. Diantara penganut teori ini adalah Max Muller dan seorang Ilmuwan Perancis, Renan.
Terdapat beberapa bantahan atas teori ini. Pertama, tidak dijelaskan dari mana munculnya potensi kebahasaan yang dimaksud. Kedua penamaan suatu benda merupakan hasil intrepretasi sendiri. Ketiga, anggota tubuh yang fungsinya “mengungkapkan” juga dimiliki oleh binatang ( baca : burung ).























DAFTAR PUSTAKA

Rosmini, Pertumbuhan dan Perkembangan Bahasa dan Terpecahnya Bahasa Menjadi Beberapa Bahasa dan Dialek