Sabtu, 04 Oktober 2014

Pendidik dalam Ilmu Pendidikan Islam

BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

Pendidik merupakan salah satu unsur pendidikan yang banyak memegang peran dan ikut andil dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan. Tercapai tidaknya tujuan pendidikan dipengaruhi pula oleh pendidik, atau bisa dikatakan pendidik adalah Central of Education.

Teori-teori tentang pendidik, banyak dikemukakan oleh pemikir-pemikir barat. Padahal islam juga mempunyai pandangan tentang pendidik yang tidak kalah dengan teorinya orang barat. Yang semua itu bisa menjadi bukti bahwa pemikir islam bukan pengadobsi pemikiran orang barat.

Selama ini islam hanya dipandang sebagai pengikut (ma’mum) adanya kemajuan dari barat. Apabila ditelaah lebih jauh, ternyata konsep yang diberikan islam tentang pendidik lebih baik dibandingkan konsep barat.  Konsep barat dipandang kering dari unsur religi, karena mereka tidak memberikan unsur-unsur spiritual untuk perubahan akhlak peserta didiknya.

Akan tetapi, kenapa selama ini pendidikan islam masih kalah kualitasnya dari pendidikan barat?.  Untuk itu, perlu dikaji sejauh manakah islam memandang seorang pendidik, demi kemajuan pendidikan islam.

 

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi pendidik menurut pendidikan Islam?

2. Apa saja jenis pendidikan dalam pendidikan Islam?

3. Apa tugas dan tanggung jawab pendidik?

4. Apa saja peran pendidik?

 

C. Tujuan

Makalah ini nantinya bertujuan untuk mengetahui konsep pendidik dalam perspektif Islam.

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A. Pengertian Pendidik dalam Pendidikan Islam

Pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).

Di dalam ilmu pendidikan yang dimaksud pendidik ialah semua yang mempengaruhi perkembangan seseorang, yaitu manusia, alam, dan ke-budayaan. Pengertian ini lebih luas dari pengertian yang diberikan oleh pendidikan islam.

Setelah mengetahui pengertian tersebut, siapakah sebenarnya pendidik itu?. Dalam islam, orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.

Orang tua bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anaknya. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal: Pertama, karena kodrat yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang yang berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga. Firman allah SWT:

$pkš0r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä39Î=÷dr&ur #Y$tR   

 “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.(QS.at-Tahrim:66)

 

Akan tetapi tidak selamanya orang tua dapat memberikan bimbingan terus terhadap anak-anaknya, untuk itu dibutuhkan seorang guru. Walaupun telah dibantu seorang guru, orang tua tidak bisa lepas dari tanggung jawab mendidik anaknya.

Pengertian guru secara terbatas adalah sebagai satu sosok individu yang berada di depan kelas. Guru adalah pendidik profesional, karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul dipundak orang tua. Dengan demikian guru adalah orang tua kedua ketika berada di sekolahan.

 

B. Jenis-Jenis Pendidik dalam Pendidikan Islam

Pendidik dalam pendidikan Islam ada beberapa macam, yaitu:

1. Allah SWT.

Dari berbagai ayat Al-Quran yang membicarakan tentang kedudukan Allah sebagai pendidik dapat dipahami dalam firman-firman yang diturunkanNyakepada Nabi Muhammad SAW. Allah memiliki pengetahuan yang amat luas. Dia juga sebagai Pencipta.

Firman Allah SWT. yang artinya:

- “segala pujian bagi Allah Rabb bagi seluruh alam”. (Q.S. Al-Fatihah: 1)

- “Dan (Allah) allama (mengajarkan) segala macam nama kepada Adam…(Q.S. Al-Baqarah: 31)

 Sabda Rasulullah SAW. Yang artinya:

- “Tuhanku telah addabani (mendidik)ku sehingga menjadi baik pendidikan”.

 

Berdasarkan ayat dan hadits di atas dapat dipahami bahwa Allah SWT sebagai pendidik bagi manusia.

 

2. Nabi Muhammad SAW.

Nabi sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai mu’allim (pendidik). Nabi sebagai penerima wahyu Al-Quran yang bertugas menyampaikan petunjuk-petunjuk kepada seluruh umat Islam kemudian dilanjutkan dengan mengajarkan kepada manusia ajaran-ajaran tersebut. Hal ini pada intinya menegaskan bahwa kedudukan Nabi sebagai pendidik ditunjuk langsung oleh Allah SWT.

 

3. Orang Tua

Pendidik dalam lingkungan keluarga adalah orang tua. Hal ini disebabkan karena secara alami anak-anak pada masa awal kehidupannya berada di tengah-tengah ayah dan ibunya. Dari merekalah anak mulai mengenal pendidikannya. Dasar pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup banyak tertanam sejak anak berada di tengah orang tuanya.

Al-Quran menyebutkan sifat-sifat yang dimiliki oleh orang tua sebagai guru, yaitu memiliki kesadaran tentang kebenaran yang diperoleh melalui ilmu dan rasio dapat bersyukur kepada Allah, suka menasehati anaknya agar manyekutukan Tuhan, memerintahkan anaknya agar menjalankan perintah shalat, sabar dalam menghadapi penderitaan. (lihat Q.S. Lukman: 12-19). Itulah sebabnya orang tua disebut “pendidik kudrati” yaitu pendidik yang telah diciptakan oleh Allah qudratnya menjadi pendidik.

 

4. Guru

Pendidik di lembaga pendidikan persekolahan disebut dengan guru, yang meliputi guru madrasah atau sekolah sejak dari taman kanak-kanak, sekolah menengah, dan sampai dosen-dosen di perguruan tinggi, kiyai di pondok pesantren, dan lain sebagainya. Namun guru bukan hanya menerima amanat dari orang tua untuk mendidik, melainkan juga dari setiap orang yang memerlukan bantuan untuk mendidiknya.

Sebagai pemegang amanat, guru bertanggung jawab atas amanat yang diserahkan kepadanya. Allah SWT menjelaskan:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-sebaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. An-Nisa’: 58)

 

C. Tugas serta Tanggung Jawab Pendidik

1. Tugas Pendidik

Keutamaan seorang pendidik disebabkan oleh tugas mulia yang diembannya. Tugas yang diemban seorang pendidik hampir sama dengan tugas seorang Rasul.

a. Tugas secara umum, adalah :

Sebagai “warasat al-anbiya”, yang pada hakikatnya mengemban misi rahmatal li al-alamin, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia akhirat. Kemudian misi ini dikembangkan kepada pembentukan kepribaian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal shaleh dan bermoral tinggi.

Selain itu tugas yang utama adalah, menyempurnakan, membersihkan, menyucikan hati manusia untuk bertaqarrub kepada Allah. Sejalan dengan ini Abd al-Rahman al-Nahlawi menyebutkan tugas pendidik pertama, fungsi penyucian yakni berfungsi sebagai pembersih, pemelihara, dan pengembang fitrah manusia. Kedua, fungsi pengajaran yakni meng-internalisasikan dan mentransformasikan pengetahuan dan nilai-nilai agama kepada manusia.

b. Tugas secara khusus, adalah :

1) Sebagai pengajar (intruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun, dan penilaian setelah program itu dilaksanakan.

2) Sebagai pendidik (edukator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil , seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia.

3) Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait. Menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu.

 

2. Tanggung Jawab Pendidik

Berangkat dari uraian di atas maka tanggung jawab pendidik sebagaimana disebutkan oleh Abd al-Rahman al-Nahlawi adalah, pendidik individu supaya beriman kepada Allah dan melaksanakan syari’atNya, mendidik diri supaya beramal saleh, dan mendidik masyarakat untuk saling menasehati dalam melaksanakan kebenaran, saling menasehati agar tabah dalam menghadapi kesusahan beribadah kepada Allah serta menegakkan kebenaran. Tanggung jawab itu bukan hanya sebatas tanggung jawab moral seorang pendidik terhadap peserta didik, akan tetapi lebih jauh dari itu. Pendidikan akan mempertanggungjawabkan atas segala tugas yang dilaksanakannya kepada Allah SWT sebagaimna hadits Rasul SAW:

“Dari Ibnu Umar r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda: Masing-masing kamu adalah pengembala dan masing-masing kamu bertanggungjawab atas gembalanya: pemimpin adalah pengembala, suami adalah pengembala terhadap anggota keluarga, dan istri adalah pengembala di tengah-tengah rumah tangga suaminya dan terhadap anaknya. Setiap orang di antara kalian adalah pengembala, dan masing-masing bertanggung jawab atas apa yang digembalanya”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

 

Kata “ra’in dalam hadits di atas berarti bahwa setiap orang dewasa dibebani kewajiban serta diserahi kepercayaan untuk menjalankan dan memelihara suatu urusan serta dituntut untuk berlaku adil dalam urusan itu. Kata “ra’iyyah” berarti setiap orang yang memiliki beban tanggungjawab bagi orang lain, seperti istri dan anak bagi suami atau ayah. Sedangkan kata “al-amir” berarti bagi setiap orang yang memegang kendali pemerintah, yang mencakup pemerintahan dengan kepala Negara dan aparatnya. Tanggung jawab dalam Islam bernilai keagamaan, berarti kelalaian seseorang terhadapnya akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat dan bernilai keduniawian, dalam arti kelalaian seseorang terhadapnya dapat dituntut di pengadilan oleh orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya.

Melihat luasnya ruang lingkup tanggung jawab dalam pendidikan Islam, yang meliputi kehidupan dunia dan akhirat dalam arti yang luas sebagaimana uraian di atas, maka orang tua tidak dapat memikul sendiri tanggung jawab pendidikan anaknya secara sempurna lebih-lebih dalam kehidupan masyarakat yang senantiasa berkembang dengan maju. Orang tua memiliki keterbatasan dalam mendidik anak mereka, makanya tugas dan tanggung jawab pendidikan anak-anaknya diamanahkan kepada pendidik lain (orang lain) baik yang berada di sekolah maupun di masyarakat. Orang tua menyerahkan anaknya ke sekolah sekaligus berarti melimpahkan sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru di sekolah, karena tidak semua orang yang dapat menjadi guru sekaligus menjadi pendidik.

Tugas dan tanggung jawab guru tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bantuan orang tua dan masyarakat karena guru sebagai pendidik mempunyai ketrebatasan.

 

D. Peran Pendidik

Terdapat beberapa peran guru dalam pembelajaran tatap muka, yaitu sebagai berikut:

1. Guru sebagai perancang pembelajaran (Designer of Instruction).

Guru dapat merancang dan mempersiapkan semua komponen agar berjalan dengan efektif dan efisien.

2. Guru sebagai pengelola pembelajaran (Manager of Instruction).

Tujuan umum pengelolaan kelas adalah menyediakan dan meng-gunakan fasilitas bagi bermacam-macam kegiatan belajar mengajar. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil yang diharapkan.

3. Guru sebagai pengarah pembelajaran

Hendaknya guru senantiasa berusaha menimbulkan, memelihara, dan meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar.

4. Guru sebagai Evaluator (Evaluator of Student Learning).

Evaluasi fungsinya sebagai penilaian hasil belajar peserta didik,  informasi yang diperoleh melaui evaluasi ini akan menjadi umpan balik terhadap proses pembelajaran. Umpan balik akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran selanjutnya.

5. Guru sebagai Konselor.

Sebagai konselor guru diharapkan akan dapat merespons segala masalah tingkah laku yang terjadi dalam proses belajar.

6. Guru sebagai pelaksana kurikulum.

Sebagai pelaksana kurikulum tentunya guru sebagai orang yang bertanggung jawab dalam upaya mewujudkan segala sesuatu yang telah tertuang dalam suatu kurikulum resmi. Bahkan pandangan mutakhir menyatakan bahwa meskipun suatu kurikulum itu bagus, namun berhasil atau gagalnya kurikulum tersebut pada akhirnya terletak di tangan pribadi guru.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

KESIMPULAN:

Ø Pada hakikatnya, pendidik yang pertama adalah Allah, karena Allah yang mengajari manusia dari ketidaktahuan, sesuai dengan QS. Al-Baqorah: 32. kedua adalah para Nabi/Rasul. Ketiga adalah orang tua. Keempat adalah guru. Akan tetapi dalam pelaksanaannya orang tualah yang bertanggung jawab terhadap anaknya.

Ø Tugas Pendidik:

a. Tugas secara umum: yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia akhirat. Kemudian misi ini dikembangkan kepada pembentukan kepribaian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal shaleh dan bermoral tinggi.

b. Tugas secara khusus:  

1. Sebagai pengajar (intruksional)

2. Sebagai pendidik (edukator)

3. Sebagai pemimpin (managerial)

Ø Seorang pendidik individu supaya beriman kepada Allah dan melaksanakan syari’atNya, mendidik diri supaya beramal saleh, dan mendidik masyarakat untuk saling menasehati dalam melaksanakan kebenaran, saling menasehati agar tabah dalam menghadapi kesusahan beribadah kepada Allah serta menegakkan kebenaran. Tanggung jawab itu bukan hanya sebatas tanggung jawab moral seorang pendidik terhadap peserta didik, akan tetapi lebih jauh dari itu.

Ø Peran Pendidik:

1. Guru sebagai perancang pembelajaran (Designer of Instruction).

2. Guru sebagai pengelola pembelajaran (Manager of Instruction).

3. Guru sebagai pengarah pembelajaran

4. Guru sebagai Evaluator (Evaluator of Student Learning).

5. Guru sebagai Konselor.

6. Guru sebagai pelaksana kurikulum.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

· Darajat, Zakiah. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

· M. Suyudi. 2005. Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an: integrasi epistemologi bayani, burhani, dan irfani. Yogyakarta: Mikraj.

· Mujib, Abdul. et al. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media.

· Hamzah B. Uno, Haji. 2007. Profesi Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

· http://nurulmaghfirohq.blogspot.com/2012/11/pendidik-dalam-pendidikan-islam-ipi_6.html

 

 

Corruption

NAMA                      : KHADIJAH NUR

NIM                         : 12010102037

MATA KULIAH        : CIVIC EDUCATION

DOSEN PENGAJAR : DR. LAODE ABDUL WAHAB

 

DAMPAK NEGATIF KORUPSI YANG DITIMBULKAN OLEH PARA PEJABAT YANG SANGAT MERUGIKAN MASYARAKAT

Sering kita mendengar kata yang satu ini, yaitu “KORUPSI”, korupsi ada disekeliling kita, mungkin terkadang kita tidak menyadari itu. Korupsi bisa terjadi dirumah, sekolah, masyarakat, maupun di instansi tertinggi dan dalam pemerintahan. Mereka yang melakukan korupsi terkadang mengangap remeh hal yang dilakukan itu. Hal ini sangat menghawatirkan, sebab bagaimana pun, apabila suatu organisasi dibangun dari korupsi akan dapat merusaknya.

Ada Salah satu contoh tentang korupsi di kalangan para pejabat Indonesia yaitu, bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka. Bagi Rakyat Miskin Korupsi, tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan masyarakat miskin di desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional kurang jumlahnya. Untuk mencukupkan anggaran pembangunan, pemerintah pusat menaikkan pendapatan negara, salah satunya contoh dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah sama sekali tidak mempertimbangkan akibat dari adanya kenaikan BBM tersebut, harga-harga kebutuhan pokok seperti beras semakin tinggi, biaya pendidikan semakin mahal, dan pengangguran bertambah. Tanpa disadari, masyarakat miskin telah menyetor 2 kali kepada para koruptor. Pertama, masyarakat miskin membayar kewajibannya kepada negara lewat pajak dan retribusi, misalnya pajak tanah dan retribusi puskesmas. Namun oleh negara hak mereka tidak diperhatikan, karena “duitnya rakyat miskin” tersebut telah dikuras untuk kepentingan pejabat. Kedua, upaya menaikkan pendapatan negara melalui kenaikan BBM, masyarakat miskin kembali “menyetor” negara untuk kepentingan para koruptor, meskipun dengan dalih untuk subsidi rakyat miskin. Padahal seharusnya negara meminta kepada koruptor untuk mengembalikan uang rakyat yang mereka korupsi, bukan sebaliknya, malah menambah beban rakyat miskin. Fenomena korupsi terjadi mulai dari pejabat di Pusat (Jakarta), sampai pamong di tingkat desa atau dusun. Pejabat tidak lagi memiliki kepedulian terhadap masyarakat miskin yang terus menerus menderita. Pejabat tanpa rasa salah dan malu terus menerus menyakiti hati rakyatnya. Bahkan disaat Presiden SBY memerangi setan korupsi ini, DPR dengan entengnya justru meminta Dana Serap Aspirasi. Ini menjadi bukti dan tanda bahwa korupsi adalah budaya, bukan aib yang memalukan. Pemerintah yang seharusnya menjadi mandat rakyat untuk memajukan pembangunan dan mensejahterakan rakyatnya justru seperti “Antara Ada Dan Tiada “. Masyarakat bingung dan saya sendiri sempat merinding bulu kuduk ketika hampir setiap pagi di berita-berita media eletronik maupun media cetak tertulis dan tersiar banyak pejabat yang ditahan karena diduga sebagai pelaku korupsi. Bahkan di kota kita tercinta ini, masih segar dalam ingatan kita yaitu korupsi di tubuh Dinas Kesehatan Promal melalui pengadaan Askes.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa :

1. Korupsi ialah perilaku yang buruk yang tidak legal dan tidak wajar untuk memperkaya diri

2. Korupsi dinilai dari sudut manapun ia tetap suatu pelanggaran

3. Korupsi mengakibatkan kurangnya pendapatan Negara dan kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah.

 

 

 

Minat dalam Belajar Bahasa Arab

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1    Latar Belakang

Pendidikan merupakan usaha sadar menyiapkan peserta didik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewariskan nilai-nilai luhur budaya bangsa sehingga membentuk manusia yang berkualitas. Pendidikan bertujuan agar budaya yang merupakan nilai-nilai luhur budaya bangsa dapat diwariskan dan dimiliki oleh generasi muda. Agar tidak ketinggalan zaman, senantiasa relevan dan signifikan dengan tuntutan hidup.

Diantara sekian banyak budaya yang perlu diwariskan kepada generasi muda adalah bahasa, karena bahasa merupakan alat yang sangat penting untuk berkomunikasi.

Setiap negara mempunyai pembahasan nasional sendiri-sendiri. Biasanya bahasa itu tersusun dari bahasa-bahasa daerah yang ada, sehingga memungkinkan adanya penggunaan dua bahasa atau lebih dalam berkomunikasi. Masyarakat Indonesia mengenal berbagai macam bahasa ketika masih kanak-kanak dikenal bahasa ibu yaitu bahasa daerah, setelah masuk sekolah menengah diajarkan bahasa-bahasa asing pada sekolah-sekolah. Dan salah satu bahasa asing yang diajarkan di sekolah tersebut adalah bahasa Arab, terutama di sekolah-sekolah Islam dan pondok pesantran.

Dan dalam pembelajaran bahasa terdapat berbagai metode yang digunakan, salah satunya adalah metode lagu. Metode lagu sangat sesuai diterapkan dalam pembelajaran dalam bahasa Arab karena anak-anak cenderung menyukai lagu, dengan demikian pelajaran bahasa Arab dapat diterima dengan mudah oleh anak-anak melalui lagu tersebut.

 

1.2    Rumusan Masalah

1. Mengapa motivasi atau minat anak dalam belajar bahasa Arab rendah?

2. Mengapa metode lagu dapat mengatasi hal tersebut?

 

 1.3    Tujuan

1. Untuk mengetahui rendahnya motivasi atau minat anak dalam belajar bahasa Arab.

2. Untuk memberi informasi bahwa metode lagu dapat mengatasi rendahnya minat anak dalam belajar bahasa Arab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1    Motivasi Atau Minat Anak Dalam Belajar Bahasa Arab

Bahasa Arab sebagai bahasa yang hidup, baik berbentuk klasik atau kuno maupun yang modern mempunyai kegunaan yang penting dalam agama, ilmu pengetahuan dalam pembinaan dan pembentukan kebudayaan nasional, bahkan hubungan internasional.

Mengingat pentingnya bahasa Arab, maka perlu ditanamkan kepada generasi-generasi muda dari sejak kecil. Masa kecil adalah masa yang ajaib, ini dapat dilihat kala anak lahir. Ia tidak mempunyai apapun. Aktivitasnya kebanyakan hanya tidur, makan, dan menangis. Tetapi tiga tahun kemudian, kita bisa melihatnya telah dapat melakukan berbagai aktivitas dan telah menjadi manusia sesungguhnya. Kita juga menyaksikan berbagai perubahan drastis pada usia prasekolah dalam sekejap mata. Dalam tiga tahun anak telah berkembang dari bayi yang masih merangkak dan tidak dapat berbicara sama sekali, menjadi manusia sesungguhnya yang bisa berbicara dan bisa berjalan (Borden, 2001:13).   

Pada masa inilah bimbingan orang tua, guru dan lingkungan sekitar mempunyai peranan yang sangat penting. Kebanyakan pada masa ini, anak sebagian besar waktunya berada di lingkungan sekolah. Karena itulah maka pengaruh yang paling mendominasi adalah pengaruh lingkungan sekolah. Di sini orang tua sangat berpengaruh terhadap kemajuan bahasa anak, ibu dan juga orang lain harus memberi contoh kepada anak dengan bahasa yang lengkap dan baik. Bahasa yang sering didengar oleh anak akan ditirunya. Hendaknya selalu berhati-hati dengan pemakaian bahasa. Supaya anak lekas dapat berbicara dengan baik dan benar. Pendidik (ibu, ayah, saudara-saudara yang lain) harus sering mengajak anak berbicara (Barnadib, 1982:22).

Namun ada hal penting yang harus diperhatikan dalam proses belajar mengajar termasuk belajar bahasa adalah anak belajar tidak disertai stres. Awalnya, lakukan cara-cara belajar dengan fleksibel atau melalui permainan agar menarik bagi anak. Dan salah satu teknik yang dapat dilakukan untuk mengajarkan bahasa termasuk mengenalkan bahasa asing adalah melalui nyanyian, karena melalui kegiatan ini anak tidak dituntut untuk berpikir. Terkadang, bagi anak-anak yang usianya masih sangat muda, perhatiannya sering kali beralih. Namun, meski anak belum intensif memperhatikan nyanyian tersebut, mereka dapat mempelajarinya dengan mendengar.

Berdasarkan wacana diatas, maka penulis tertarik untuk memperkenalkan salah satu bahasa asing yakni bahasa Arab untuk anak-anak  melaui nyanyian.

 

2.2    Metode Lagu Sebagai Upaya Untuk Mengatasi Rendahnya Minat Anak

         Dalam Belajar Bahasa Arab     

Untuk memilih dan menentukan strategi pembelajaran bahasa Arab untuk anak, guru hendaknya terlebih dahulu memahami dengan baik prinsip-prinsip pembelajaran bahasa Arab untuk anak dan karakteristik anak yang akan diajar. Karakteristik anak tersebut antara lain:

a) Masih belajar dan senang berbicara tentang lingkungan mereka,

b) Senang bermain,

c) Senang mempraktekkan sesuatu yang baru diketahui/ dipelajarinya,

d) Cenderung suka bertanya,

e) Cenderung suka mendapatkan penghargaan,

f) Cenderung mau melakukan sesuatu karena dorongan dari luar,

Berdasarkan karakteristik tersebut guru dapat memilih strategi pembelajaran bahasa Arab untuk anak yang sesuai.  Salah satu karakteristik anak adalah bahwa pengetahuan mereka masih sangat terbatas pada lingkungan hidup mereka sehari-hari.     Berdasarkan hal tersebut, maka materi pelajaran sebaiknya dipilihkan hal-hal yang terkait dengan lingkungan mereka. Misalnya tentang diri mereka sendiri, orang tua (bapak/ibu), saudara kandung, rumah dan isinya, binatang piaraan, mainan, lingkungan sekolah, dan teman bermain.

Dalam memilih metode atau teknik pembelajaran bahasa Arab untuk anak, guru juga perlu melihat salah satu karakteristik yang menonjol pada anak, yaitu bahwa mereka senang bermain. Melihat karakteristik seperti itu, maka metode yang relevan untuk pembelajaran bahasa Arab untuk anak adalah metode bermain dengan berbagai tekniknya. Dan salah satu teknik yang sesuai adalah melalui nyanyian, karena melalui nyanyian anak akan belajar sekaligus bermain melalui lagu-lagu yang didendangkan/dinyanyikannya. Nyanyian merujuk kepada aktivitas membunyikan suara dalam bentuk tertentu yang bertujuan menghasilkan nada dan melodi yang disenangi. Ia merupakan salah satu aktivitas manusia yang bertujuan untuk menggembirakan hati. Nyanyian boleh dilakukan dengan bantuan alat musik atau hanya dengan secara bertepuk tangan dan sebagainya. Nyanyian memerlukan daya kreativitas manusia dan dianggap sebagai salah satu cabang seni.

Adapun tujuan pemanfaatan lagu dalam pembelajaran bahasa Arab antara lain untuk:

a) Menumbuhkan sensitifitas anak terhadap bunyi, irama, dan nada dalam bahasa Arab,

b) Melatih pengucapan ungkapan sederhana dalam bahasa Arab,

c) Melatih penggunaan kosakata bahasa Arab yang ada dalam lagu,

d) Mengembangkan permainan dengan bunyi-bunyi dalam bahasa Arab,

e) Mengembangkan permainan dengan peragaan lagu yang dihapalkan,

f) Memperkenalkan ejaan, kalimat berita, kalimat tanya dan perintah.

Disamping itu, lagu dapat dimanfaatkan untuk tujuan:

a) Membuat kaitan antara kegiatan dan benda/obyek melalui syair lagu,

b) Meresapkan bunyi-bunyi bahasa Arab,

c) Mengembangkan kepekaan ritme,

d) Menghapal kosakata.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih lagu untuk pembelajaran bahasa Arab bagi anak usia prasekolah antara lain:

a) Syair atau kata-kata dalam lagu hendaknya jelas,

b) Bahasa yang digunakan dalam lagu tersebut tidak terlalu sulit,

c) Tema lagu dipilih yang sesuai dengan dunia anak,

d) Lagu tidak terlalu panjang (panjang-pendek lagu disesuaikan dengan tingkatan

atau kelas anak),

e) Lagu diupayakan memiliki keterkaitandengan materi yang diajarkan.

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari pembahasan yang telah dijabarkan diatas, maka dapat diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Melalui nyanyian yang disampaikan dengan metode bermain yaitu menyanyi

dengan gerakan, maka anak-anak dapat dengan mudah mengenal beberapa kosakata bahasa Arab.

2. Anak-anak memiliki minat yang tinggi dalam mengenal bahasa Arab dengan metode lagu.

3. Isi nyanyian pendek dan bahasa yangdigunakan mudah sehingga anak dengan

mudah mencerna dan mengucapkan kosakata bahasa Arab.

 

3.2 Saran

Disarankan kepada guru atau orang tua yang memiliki anak terutama anak usia prasekolah dalam mengenalkan bahasa asing sebaiknya menggunakan metode yang menyenangkan seperti melalui nyanyian.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

· Borden, Marian Edelman. 2001. Smart Start: TheParents ‟Complete Guide To Prescool Education. Terj. Ary.

· Effendy, Ahmad Fuad. 2005. MetodologiPengajaran Bahasa Arab. Malang:

Misykat.

· Patmonodewo, Soemiarti. 2003. PendidikanAnak Prasekolah. Jakarta: Rineka

Cipta.

 

 

Haid dan Nifas

BAB  I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang 

Hadas adalah istilah untuk hal-hal yang bisa menghalangi sahnya shalat seseorang atau dengan kata lain,hadas adalah kondisi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan shalat jika berada dalam keadaan tersebut,atau shalatnya batal jika kondisi itu terjadi saat shalat.

Dalam ilmu fikih,hadas dibagi menjadi dua macam yaitu hadas kecil dan hadas besar. Hadas kecil menyebabkan seseorang harus melaksanakan wudu untuk melaksanakan shalat. Sedangkan hadas besar menyebabkan seseorang melakukan mandi oleh orang Indonesia dinamai dengan mandi besar- juga wudu jika akan melaksanakan shalat.

Junub,haid,dan nifas merupakan hal-hal yang menyebabkan hadas besar. Oleh karena itu,penting bagi umat islam mengetahui apa itu haid dan nifas serta bagaimana cara bersuci dari hadas besar.

 

B. Masalah dan  Pembatasan Masalah

Pokok pembahasan dalam makalah ini adalah masalah haid dan nifas, yang mana dalam pemaparannya nanti dibatasi pada definisi perbedaan antara haid dan nifas; batas kapan seseorang bisa dianggap suci serta cara bersucinya; dan hukum bagi orang haid dan nifas.

 

C. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana definisi tentang Haid dan Nifas?

2.      Kapan batasan waktu Haid dan Nifas dianggap suci?

3.      Bagaimana cara bersuci dari Haid dan Nifas?

 

D.       Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami definisi tentang Haid dan Nifas

2. Untuk mengetahui dan memahami waktu pembatasan bersuci dari Haid dan Nifas .

3. Untuk mengetahui dan memahami cara bersuci dari Haid dan Nifas.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A. Pengertian Haid dan Nifas

1.  Haid

Haid adalah darah yang keluar dari dinding rahim seorang wanita apabila telah menginjak masa baligh. Haid ini dijalani oleh seorang wanita pada masa-masa tertentu, paling cepat satu hari satu malam dan paling lama lima belas hari. Sedangkan yang normal adalah enam atau tujuh hari.

 

2. Nifas

Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya ( 2 atau 3 hari) yang disertai dengan rasa sakit.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah nifas." Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnva yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.

 

B. Batasan waktu bersuci dari Haid dan Nifas

1.  Batasan Suci Haid

      Paling sedikitnya batasan waktu suci yang memisah antara 1 haid dengan haid sesudahnya minimal harus 15 hari 15 malam. Paling lama suci tidak ada batasnya. Kadang –kadang ada wanita yang mengalami haid dua bulan sekali, satu tahun sekali, ada yang dua tahun sekali, seperti Putri Baginda Rosulullah Saw, Sayyidah fathimah Az-zahro’ Ra.

 

2.  Batasan Suci Nifas

      Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari'at, halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40,60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits.

 

C. Cara Bersucinya

1. Mandi Karena Haid atau Nifas

Jika haid atau nifas telah selesai maka wajib mandi. Mandi ini wajib segera dilakukan bila hendak melakukan sholat atau ibadah lain yang wajib suci.

Oleh karena itu wanita yang selesai Haidh atau nifasnya pada tengah-tengah waktu sholat wajib segera mandi kemudian sholat meskipun tengah malam atau sangat dingin.Tidak boleh menunda-nunda sampai terjadi sholat qodlo’ apalagi sampai tidak dikerjakan sama sekali.

Yang dimaksud selasai (habisnya) darah adalah seandainya dimasukkan kapas kedalam farji sampai pada tempat yang tidak wajib di basuh kala istinja’. Jadi seandainya darah tidak keluar sama sekali, tapi jika dioleskan kapas ke dalam farji meskipun hanya sedikit tidak dapat dikatakan habis masa haid atau nifas. Jika wanita dalam keadaan demikian melakukan mandi wajib,maka hukumnya tidak sah. Otomatis sholat-sholat yang dikerjakan setelah itu sampai mandi yang sah menjadi tidak sah pula.

 

2.  Fardlu mandi haidh atau nifas

Fardlu mandi haidh atau nifas (menghilangkan hadats besar) ada tiga :

a) Niat

Menghilangkan hadats haidl, nifas atau menghilangkan hadats besar. Niat ini dilakukan pada permukaan membasuh anggota badan pertamakali. Akan tetapi kalau sudah membasuh sebagian anggota badan namun belum berniat, ataupun niatnya belum jadi maka setelah niatnya wajib mengulangi basuhan pada anggota yang belum diniati tadi.

 

b) Menghilangkan najis.

Kalau terdapat najis pada sebagian anggota badan wajib dihilangkan terlebih dahulu kemudian dibasuh.

 

3. Meratakan air keseluruhan badan bagian luar.

Wajib membasuh seluruh bagian rambut (dari ujung sampai pangkalnya) meskipun lebat/tebal, seluruh kulit badan, kuku dan bagian bawahnya, lubang telinga tampak dari luar, kerut-kerutan badan, lipatan-lipatan badan, persendian-persendian badan, bagian farji yang kelihatan tatkala berjongkok dan masrubah (tempat menutupnya lubang dubur) Haid atau nifas telah selesai tetapi belum mandi. Kalau haid/nifas sudah benar-benar selesai, lalu melakukan mandi dengan benar, maka halal menjalankan segala perkara yang diharamkan sebab haid atau nifas.

 

D. Hal-Hal yang Dilarang bagi Wanita yang sedang Haidh dan Nifas

Wanita yang sedang haidh dan nifas dilarang melakukan hal yang dilarang bagi orang yang berhadats. Selain itu juga dilarang:

1) Melaksanakan sholat. Larangan ini berdasar hadits Rasulullah saw.:

 

اِذَا أَقْبَلَتْ الحَيْضَةُ فَدَعِيَ الصَّلاَة

Artinya: “Jika haid telah tiba maka janganlah melakukan sholat.” (H.R. Nasai).

 

2) Puasa. Larangan ini berdasar juga pada hadits di atas, karena ada sebuah hadits yang menerangkan kesamaan antara larangan puasa dan sholat pada mereka yang haid. Riwayat yang diceritakan oleh Aisyah ini berbunyi:

 

كُنَّا نَحِيْضُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ ثُمَّ نَطْهُرُ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

Artinya: “Pada masa Rasulullah saw., kami mengalami haid. Setelah kami suci, kami diperintahkan untuk mengganti (qada) puasa, tetapi kami tidak diperintahkan untuk meng-qada sholat.”

 

Dalam hadits lain Rasulullah saw. bersabda:

 

أَلَيْسَتْ إِحْدَاكُنَّ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى

Artinya: “Bukankah salah seorang di antara kalian jika sedang haid tidak (usah) sholat dan berpuasa? Mereka menjawab, ‘benar’.” (H.R. Bukhari).

 

3) Melakukan tawaf. Hal ini berdasarkan perkataan Rasulullah saw. kepada Aisyah pada saat ia mengalami haid ketika melakukan ibadah haji. Beliau bersabda:

 

اِفْعَلِى مَايَفْعَلُهُ الحَاجُّ غَيْرَ اَلاَّ تَطُوْفِى بِا لْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي ـ رواه البخرى و مسلم

Artinya: “Lakukan apa saja seperti yang dilakukan orang berhaji, kecuali melakukan tawaf di Masjidil Haram hingga kamu suci.” (H.R. Bukhari Muslim).

 

 

4) Memegang dan membaca Al-Quran. Larangan ini berlandaskan hadits Rasulullah saw.:

لاَيَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ

Artinya: “Orang yang junub atau haid tidak boleh membaca apapun dari al-Quran.” (H.R. Abu Daud dan Turmudzi).

 

Ada juga sebuah ayat yang dijadikan untuk larangan memegang al-Quran, yaitu:

 

لاَيَمَسُّهُ اِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ

Artinya: “Tidak (boleh) memegangnya (al-Quran) kecuali orang-orang yang suci.” (Q.S. al-Waqi’ah: 79).

 

5) Berdiam diri di dalam majid. Rasulullah saw. bersabda:

 

لاَأُحِلَّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ لِجُنُبٍ ـ رواه ابو داود

Artinya: “Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haid dan bagi orang yang sedang junub.” (H.R. Abu Daud).

 

Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang haid dilarang berdiam diri di masjid karena dikhawatirkan mengotori masjid. Kalangan yang melihat ini sebagai satu-satunya alasan cenderung untuk tidak melarang perempuan haid untuk tinggal atau diam di masjid dengan alasan-alasan tertentu, seperti mengikuti majelis taklim, jika ia memakai pembalut yang aman dan bersih.

Akan tetapi, ada sebagian ulama yang mengaitkan larangan tinggal di masjid ini dengan persoalan “kesucian diri” seseorang yang sedang haid. Kata aza (penyakit) diartikan sebagai sesuatu yang menjadikan seseorang perempuan tidak diperkenankan berada di dalam masjid dengan alasan apapun.

 

6) Melakukan hubungan seksual. Dengan tegas Allah SWT melarang orang haid untuk melakukan hubungan seksual. Allah swt. berfirman.

...فَاعْتَزِلُوْا النِّسَآءَ فِى الْمَحِيْضِ...

Artinya: “… Karena itu jauhilah isteri pada waktu haid….” (Q.S. al-Baqarah: 222).

Larangan untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sedang mengalami haid ini hanya berlaku pada hubungan intim lingga-yoni. Dengan demikian, melakukan hubungan intim di area selain vagina diperbolehkan. Dalam istilah haditsnya, seorang suami bisa melakukan hubungan intim dengan isterinya yang haid sebatas “ma fauqal izar” (area ke atas sarung). Dalam hadits lain, secara tegas dikatakan:

 

اِفْعَلُوْا مَاشِئْتُمْ إِلاَّ النِّكَاحَ ـ رواه مسلم

Artinya: “Lakukan apa saja, kecuali nikah (dalam konteks ini nikah memiliki arti “hubungan seksual).” (H.R. Muslim)

 

E. Hal-Hal yang Diprbolehkan bagi Wanita yang sedang Haidh dan Nifas

Hal-hal yang diperbolehkan bagi wanita yang sedang haidh dan nifas, antara lain :

1) Mencukur rambut dan memotong kuku

2) Pergi ke pasar

3) Pergi mendengarkan ceramah agama dan belajar memahami Islam, apabila hal tersebut tidak dilakukan di dalam masjid.

4) Berdzikir, bertasbih, bertahmid, dan membaca basmalah sebelum makan minum.

5) Membawa hadits, fiqih, doa dan mengucapkan amin.

6) Membaca berbagai macam dzikir sebelum tidur

7) Mendengarkan bacaan Al-Qur’an.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

KESIMPULAN :

v Haid adalah darah yang keluar dari dinding rahim seorang wanita apabila telah menginjak masa baligh. Haid ini dijalani oleh seorang wanita pada masa-masa tertentu, paling cepat satu hari satu malam dan paling lama lima belas hari. Sedangkan yang normal adalah enam atau tujuh hari.

v Nifas adalah darah yang keluar dari rahim seorang wanita setelah selesai melahirkan, walaupun anak yang dilahirkan belum berwujud manusia atau masih berupa alaqoh (darah kental) atau mudglah (segumpal daging).

v Seorang wanita yang sedang menjalani masa haid ataupun nifas tidak berkewajiban untuk menjalankan ibadah seperti puasa, shalat, ihram, dan ibadah-ibadah lainnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

· Ahnan Maftuh, Risalah Fiqih Wanita, Terbit Terang, Surabaya

· MA. Saifuddin Zuhri, Buku Pintar Haid problematika wanita, almaba 2010

· Muhammad bin abdul qodir, haid dan masalah-msalah wanita muslim

· Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=758

 

Rabu, 17 September 2014

Sertifikasi Guru PAI

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Di sekolah, guru adalah orang tua kedua bagi anak didik. sebagai orang tua, guru harus menganggapnya sebagai anak didik, karena anak didik adalah anak. Orang tua dan anak adalah dua sosok insani yang diikat oleh tali jiwa. Belaian kasih dan sayang adalah naluri jiwa orang tua yang sangat diharapkan oleh anak, sama halnya belaian kasih dan sayang seorang guru kepada anak didiknya.
Ketika guru hadir bersama-sama anak didik di sekolah, di dalam jiwanya seharusnya sudah tertanam niat untuk mendidik anak didik agar menjadi orang yang berilmu pengetahuan, mempunyai sikap dan watak yang baik, yang cakap dan terampil, bersusila dan berakhlak mulia.
Kebaikan seorang guru tercermin dari kepribadiannya dalam bersikap dan berbuat, tidak saja ketika di sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Guru memang harus menyadari bahwa dirinya adalah figur yang diteladani oleh semua pihak, terutama oleh anak didiknya di sekolah. Guru adalah bapak rohani bagi anak didiknya. Hal ini berarti, bahwa guru sebagai arsitek bagi rohani anak didiknya. Terutama pada guru Pendidikan Agama Islam.
Guru Pendidikan Agama Islam mempunyai peran untuk membentuk kepribadian anak didik lebih dipentingkan. Anak didik yang berilmu dan berketerampilan belum tentu berakhlak mulia. Cukup banyak orang yang berilmu dan berketerampilan, tetapi karena tidak mempunyai akhlak yang mulia, mereka terkadang menggunakannya untuk hal-hal yang negatif. Namun demikian, bukan berarti orang yang berilmu dan berketerampilan tidak diharapkan, tetapi yang sangat diperlukan tentu saja adalah orang yang berilmu dan berketerampilan, serta yang berakhlak mulia. Pembinaan anak didik mengacu pada tiga aspek di atas, yakni anak didik yang berakhlak mulia, cakap, dan terampil.
Dengan adanya peran guru Pendidikan Agama Islam yang pro aktif terhadap siswa, hal ini membuat anak didik termotivasi untuk belajar, karena guru mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anak didiknya. motivasi belajar adalah dorongan untuk berbuat merubah tingkah laku dengan pengalaman dan latihan.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa guru adalah pendidik professional. Seorang sarjana (S1) atau diploma empat (D4), menguasai kompetensi, memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Sertifikasi guru merupakan salah satu upaya untuk peningkatan mutu dan kesejahteraan guru, berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran. Dengan terlaksananya sertifikasi guru, diharapkan akan berdampak pada meningkatnya mutu pembelajaran dan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Pelaksanaan sertifikasi guru telah ditunggu-tunggu oleh para guru, dan menjadi topik pembicaraan utama setelah rencana pelaksanaan tahun 2006 tidak jadi dilaksanakan karena peraturan pemerintah sebagai landasan hukum belum ditetapkan. Dengan diterbitkannya Peraturan Mendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, maka sertifikasi guru sudah mempunyai landasan hukum untuk segera dilaksanakan secara bertahap dimulai pada tahun 2007.
Tahap awal pelaksanaan sertifikasi dimulai dengan pemberian kuota kepada Kabupaten/Kota, pembentukan panitia pelaksanaan sertifikasi guru di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, dan penetapan peserta oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Agar seluruh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota mempunyai pemahaman yang sama tentang kriteria dan proses penetapan peserta sertifikasi guru, maka perlu disusun Pedoman Penetapan Peserta dan Pelaksanaan Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Pedoman ini disusun sesuai amanat dalam Peraturan Mendiknas pasal 4 ayat (3) yang dinyatakan bahwa penentuan peserta sertifikasi berpedoman pada criteria yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal PMPTK.
Engkoswara, dalam “Menuju Indonesia Modern”, mengemukakan, guru adalah seorang tenaga pendidik yang bekerja menyampaikan ilmu pengetahuan (kognitif), mengembangkan sikap kepribadian (afektif), serta memberikan bekal keterampilan (psikomotor) kepada peserta didik, dalam ruang lingkup organisasi pendidikan di tingkat sekolah. Guru juga merupakan “ujung tombak” kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas atau sebagai orang yang mengemban dan mengembangkan berbagai bentuk pemikiran, yang terkandung dalam kurikulum pendidikan serta berbagai aturan atau pedoman yang berkaitan dengan KBM di sekolah. Dengan demikian diperlukan komprehensivitas diri pada para guru antara lain : pemikiran, kemampuan, disiplin kerja yang diperlukan agar mencapai hasil yang maksimal menuju tercapainya tujuan pendidikan.
Dengan adanya sertifikasi guru diharapkan mampu menciptakan guru yang professional, berkompeten, berkualitas dalam mengajar. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikat pendidik. Kewajiban ini tanpa kecuali, juga berlaku bagi RA dan madrasah. Ketentuan ini dimaksudkan sebagai mekanisme dan upaya untuk meningkatkan martabat profesi guru di masyarakat, sekaligus meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya manusianya.
Sehubungan dengan pelaksanaan sertifikasi bagi guru, memicu para guru yang belum memiliki kualifikasi S1 (strata satu) untuk berusaha melanjutkan studi lanjut ke Perguruan Tinggi guna memperoleh gelar sarjana sebagai salah satu syarat kualifikasi akademik dan sekaligus meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru. Atas dasar itulah maka penulis mengadakan penelitian tentang "Makna Sertifikasi Bagi Guru Pendidikan Agama Islam"

Rumusan Masalah
Dengan berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana sertifikasi bagi guru Pendidikan Agama Islam ?
Bagaimana pengaruh sertifikasi bagi guru pendidikan agama Islam dalam meningkatkan kinerja ?



BAB II
PEMBAHASAN

Sertifikasi Bagi Guru Pendidikan Agama Islam
Sertifikasi guru adalah proses pemrolehan sertifikat pendidik oleh seseorang yang telah bertugas sebagai guru pada satuan pendidikan yang ada dalam binaan Departemen Agama. Sertifikat pendidik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikasi pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, meningkatkan martabat guru, dan meningkatkan profesionalisme guru.
Salah satu upaya yang diamanatkan oleh PP No. 19/2005 dan UU No. 14/2005 dalam menjadikan jabatan guru sebagai jabatan profesional untuk meningkatkan citra guru adalah pendidikan profesi yang memungkinkan guru menguasai kompetensi utuh sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada peningkatan kualitas pendidikan. Kepemilikan kompetensi ini akan ditandai dengan pemerolehan. Sertifikat pendidik yang selanjutnya akan diikuti oleh penghargaan berupa tunjangan profesi.
Ketentuan ini berlaku bagi semua guru, termasuk bagi guru MI dan guru PAI di sekolah. Menurut PP No. 19/2005, Pasal 29 ayat (2) bahwa seorang guru (MI atau PAI) minimal harus mempunyai kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau D-IV serta sertifikat profesi untuk guru MI atau PAI. Sehubungan dengan persyaratan ini, perlu segera dirancang program pendidikan seperti yang diamanatkan oleh UU No. 14 tahun 2005 dalam bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari sisi akademik maupun pengelolaan.
Jumlah dan persebaran serta heterogenitas latar belakang guru di lingkungan Departemen Agama yang bertugas di MI, MTs, MA yang berjumlah 524.543 orang, maka keadaan guru pada MI adalah paling kompleks diantara guru-guru yang ada, sehingga memerlukan penanganan ekstra. Data perkembangan jumlah guru tahun 2007 menunjukkan bahwa guru MI dan PAI yang masih berpendidikan SLTA, D-1, D-2 dan D-3 berjumlah 449.041 orang. jumlah guru ini tersebar di seluruh pelosok tanah air, mulai dari kota besar, sampai ke daerah yang paling terpencil, dengan latar belakang yang sangat bervariasi, mengindikasikan betapa kompleksnya pekerjaan yang harus digarap untuk memenuhi amanat Undang-undang di mana dalam waktu 10 tahun menargetkan semua pendidik harus memenuhi kualifikasi akademik minimal S-1.
Guru MI dan PAI dituntut untuk segera meningkatkan kualifikasinya agar mampu berkarya secara profesional. Berkaitan dengan masih banyaknya guru MI dan PAI yang belum memiliki kualifikasi seperti yang dituntut oleh peraturan perundang-undangan diperlukan prakarsa yang inovatif dan efisien untuk memberikan layanan pendidikan yang memungkinkan tidak mengganggu pelaksanan tugas-tugas keseharian masing-masing guru.

Pengaruh Sertifikasi Bagi Guru Pendidikan Agama Islam dalam Meningkatkan Kinerja
Program sertifikasi guru yang digelar pemerintah dalam bingkai sertifikat profesi pendidik sejak awal sebenarnya didedikasikan untuk melahirkan guru-guru yang kompeten dan profesional. Sekaligus guru yang telah mendapat sertifikat itu secara otomatis juga akan mendapat tambahan kesejahteraan sebesar satu kali gaji pokok.
Sebagai bentuk jawaban konkrit dari pemerintah guna memenuhi desakan untuk meningkatan mutu pendidikan dan sekaligus peningkatan kesejahteraan bagi guru yang selama ini dirasa teramat rendah. Hal itu pula didasarkan atas asumsi bahwa persoalan peningkatan mutu pendidikan tentu bertolak pada mutu guru. Tanpa adanya peningkatan dari mutu guru itu sendiri jelas kualitas pendidikan di tanah air saat ini tidak akan banyak berubah.
Bila ditelusuri lebih jauh pula, dalam perjalanan program sertifikasi selama ini, pemerintah sebenarnya telah lebih menunjukkan ketidak-profesionalnya. Sejak awal telah banyak celah yang menunjukkan kelemahan program sertifikasi ini. Sebab banyak prosedur yang dibuat pemerintah yang pada akhirnya juga dilangkai sendiri. Diantaranya ialah mengenai ketentuan lulus atau tidaknya para guru peserta uji sertifikasi.
Kerja keras para guru untuk mendapatkan sertifikasi profesi pendidik seharusnya pada akhirnya memang berujung pada dua kenyataan, antara lulus dan tidak lulus. Hal ini untuk memilah mana guru yang memang benar-benar kompeten dan profesional dan mana yang tidak memiliki kompetensi, kepribadian dan profesionalitas sebagaimana yang diharapkan.
Namun, sebenarnya pada akhirnya tidak ada kategori tidak lulus dalam program sertifikasi ini. Sebab ujung-ujungnya, semua guru tetap akan mendapat sertifikasi itu. Di satu sisi pemerintah sudah menetapkan alat ukur kompetensi guru melalui portopolio. Sementara di sisi lain, peraturan yang dibuat juga sangat membuka peluang terjadinya pelemahan terhadap kualitas uji kompetensi pendidik tersebut.
Sebab dalam aturan tentang sertifikasi, bila portopolio yang disusun guru tidak memenuhi standar dan dinyatakan tidak lulus, masih ada peluang besar untuk lulus sertifikasi dengan mengikuti Diklat Profesi Guru. Padahal Diklat Profesi sendiri terhitung singkat dan mudah. Seakan-akan hanya dalam waktu 30 jam Diklat Profesi dianggap cukup untuk melahirkan SDM tenaga pendidik yang kompeten dan profesional.
Dengan adanya sertifikasi maka secara tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebagaimana tujuan dari sertifikasi guru untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, meningkatkan martabar guru, dan meningkatkan profesionalisme guru.





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua pihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Kesadaran dan pemahamannya ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau guru kembali masuk kampus untuk meningkatkan kualifikasinya, maka belajar kembali ini bertujuan untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1.
Demikian pula, kalau guru mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi guru. Sehingga akan mempengaruhi adanya kinerja karyawan.

Penutup
Demikianlah makalah yang dapat disampaikan, apabaila ada kekurangan dan kesalahan kami minta maaf, serta dengan senang hati kami menerima saran dan kritik yang bersifat konstruktif. Akhir kata semoga brmanfaat dan menambah khazanah bagi kita semua. Amin.









DAFTAR PUSTAKA

DirektoDirektorat Pendidikan Madrasah, Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan, Departemen Agama, 2007.
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1994.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswin Zaini, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
HYPERLINK "http://psg.borneo.oc.id/wp-content/files/faq01.pdf" http://psg.borneo.oc.id/wp-content/files/faq01.pdf
http://nayawati.blogspot.com/2010/03/makna-sertifikasi-bagi-guru-pendidikan.html?m=1





Sertifikasi Guru PAI

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Di sekolah, guru adalah orang tua kedua bagi anak didik. sebagai orang tua, guru harus menganggapnya sebagai anak didik, karena anak didik adalah anak. Orang tua dan anak adalah dua sosok insani yang diikat oleh tali jiwa. Belaian kasih dan sayang adalah naluri jiwa orang tua yang sangat diharapkan oleh anak, sama halnya belaian kasih dan sayang seorang guru kepada anak didiknya.
Ketika guru hadir bersama-sama anak didik di sekolah, di dalam jiwanya seharusnya sudah tertanam niat untuk mendidik anak didik agar menjadi orang yang berilmu pengetahuan, mempunyai sikap dan watak yang baik, yang cakap dan terampil, bersusila dan berakhlak mulia.
Kebaikan seorang guru tercermin dari kepribadiannya dalam bersikap dan berbuat, tidak saja ketika di sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Guru memang harus menyadari bahwa dirinya adalah figur yang diteladani oleh semua pihak, terutama oleh anak didiknya di sekolah. Guru adalah bapak rohani bagi anak didiknya. Hal ini berarti, bahwa guru sebagai arsitek bagi rohani anak didiknya. Terutama pada guru Pendidikan Agama Islam.
Guru Pendidikan Agama Islam mempunyai peran untuk membentuk kepribadian anak didik lebih dipentingkan. Anak didik yang berilmu dan berketerampilan belum tentu berakhlak mulia. Cukup banyak orang yang berilmu dan berketerampilan, tetapi karena tidak mempunyai akhlak yang mulia, mereka terkadang menggunakannya untuk hal-hal yang negatif. Namun demikian, bukan berarti orang yang berilmu dan berketerampilan tidak diharapkan, tetapi yang sangat diperlukan tentu saja adalah orang yang berilmu dan berketerampilan, serta yang berakhlak mulia. Pembinaan anak didik mengacu pada tiga aspek di atas, yakni anak didik yang berakhlak mulia, cakap, dan terampil.
Dengan adanya peran guru Pendidikan Agama Islam yang pro aktif terhadap siswa, hal ini membuat anak didik termotivasi untuk belajar, karena guru mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anak didiknya. motivasi belajar adalah dorongan untuk berbuat merubah tingkah laku dengan pengalaman dan latihan.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa guru adalah pendidik professional. Seorang sarjana (S1) atau diploma empat (D4), menguasai kompetensi, memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Sertifikasi guru merupakan salah satu upaya untuk peningkatan mutu dan kesejahteraan guru, berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran. Dengan terlaksananya sertifikasi guru, diharapkan akan berdampak pada meningkatnya mutu pembelajaran dan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Pelaksanaan sertifikasi guru telah ditunggu-tunggu oleh para guru, dan menjadi topik pembicaraan utama setelah rencana pelaksanaan tahun 2006 tidak jadi dilaksanakan karena peraturan pemerintah sebagai landasan hukum belum ditetapkan. Dengan diterbitkannya Peraturan Mendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, maka sertifikasi guru sudah mempunyai landasan hukum untuk segera dilaksanakan secara bertahap dimulai pada tahun 2007.
Tahap awal pelaksanaan sertifikasi dimulai dengan pemberian kuota kepada Kabupaten/Kota, pembentukan panitia pelaksanaan sertifikasi guru di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, dan penetapan peserta oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Agar seluruh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota mempunyai pemahaman yang sama tentang kriteria dan proses penetapan peserta sertifikasi guru, maka perlu disusun Pedoman Penetapan Peserta dan Pelaksanaan Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Pedoman ini disusun sesuai amanat dalam Peraturan Mendiknas pasal 4 ayat (3) yang dinyatakan bahwa penentuan peserta sertifikasi berpedoman pada criteria yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal PMPTK.
Engkoswara, dalam “Menuju Indonesia Modern”, mengemukakan, guru adalah seorang tenaga pendidik yang bekerja menyampaikan ilmu pengetahuan (kognitif), mengembangkan sikap kepribadian (afektif), serta memberikan bekal keterampilan (psikomotor) kepada peserta didik, dalam ruang lingkup organisasi pendidikan di tingkat sekolah. Guru juga merupakan “ujung tombak” kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas atau sebagai orang yang mengemban dan mengembangkan berbagai bentuk pemikiran, yang terkandung dalam kurikulum pendidikan serta berbagai aturan atau pedoman yang berkaitan dengan KBM di sekolah. Dengan demikian diperlukan komprehensivitas diri pada para guru antara lain : pemikiran, kemampuan, disiplin kerja yang diperlukan agar mencapai hasil yang maksimal menuju tercapainya tujuan pendidikan.
Dengan adanya sertifikasi guru diharapkan mampu menciptakan guru yang professional, berkompeten, berkualitas dalam mengajar. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikat pendidik. Kewajiban ini tanpa kecuali, juga berlaku bagi RA dan madrasah. Ketentuan ini dimaksudkan sebagai mekanisme dan upaya untuk meningkatkan martabat profesi guru di masyarakat, sekaligus meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya manusianya.
Sehubungan dengan pelaksanaan sertifikasi bagi guru, memicu para guru yang belum memiliki kualifikasi S1 (strata satu) untuk berusaha melanjutkan studi lanjut ke Perguruan Tinggi guna memperoleh gelar sarjana sebagai salah satu syarat kualifikasi akademik dan sekaligus meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru. Atas dasar itulah maka penulis mengadakan penelitian tentang "Makna Sertifikasi Bagi Guru Pendidikan Agama Islam"

Rumusan Masalah
Dengan berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana sertifikasi bagi guru Pendidikan Agama Islam ?
Bagaimana pengaruh sertifikasi bagi guru pendidikan agama Islam dalam meningkatkan kinerja ?



BAB II
PEMBAHASAN

Sertifikasi Bagi Guru Pendidikan Agama Islam
Sertifikasi guru adalah proses pemrolehan sertifikat pendidik oleh seseorang yang telah bertugas sebagai guru pada satuan pendidikan yang ada dalam binaan Departemen Agama. Sertifikat pendidik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikasi pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, meningkatkan martabat guru, dan meningkatkan profesionalisme guru.
Salah satu upaya yang diamanatkan oleh PP No. 19/2005 dan UU No. 14/2005 dalam menjadikan jabatan guru sebagai jabatan profesional untuk meningkatkan citra guru adalah pendidikan profesi yang memungkinkan guru menguasai kompetensi utuh sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada peningkatan kualitas pendidikan. Kepemilikan kompetensi ini akan ditandai dengan pemerolehan. Sertifikat pendidik yang selanjutnya akan diikuti oleh penghargaan berupa tunjangan profesi.
Ketentuan ini berlaku bagi semua guru, termasuk bagi guru MI dan guru PAI di sekolah. Menurut PP No. 19/2005, Pasal 29 ayat (2) bahwa seorang guru (MI atau PAI) minimal harus mempunyai kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau D-IV serta sertifikat profesi untuk guru MI atau PAI. Sehubungan dengan persyaratan ini, perlu segera dirancang program pendidikan seperti yang diamanatkan oleh UU No. 14 tahun 2005 dalam bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari sisi akademik maupun pengelolaan.
Jumlah dan persebaran serta heterogenitas latar belakang guru di lingkungan Departemen Agama yang bertugas di MI, MTs, MA yang berjumlah 524.543 orang, maka keadaan guru pada MI adalah paling kompleks diantara guru-guru yang ada, sehingga memerlukan penanganan ekstra. Data perkembangan jumlah guru tahun 2007 menunjukkan bahwa guru MI dan PAI yang masih berpendidikan SLTA, D-1, D-2 dan D-3 berjumlah 449.041 orang. jumlah guru ini tersebar di seluruh pelosok tanah air, mulai dari kota besar, sampai ke daerah yang paling terpencil, dengan latar belakang yang sangat bervariasi, mengindikasikan betapa kompleksnya pekerjaan yang harus digarap untuk memenuhi amanat Undang-undang di mana dalam waktu 10 tahun menargetkan semua pendidik harus memenuhi kualifikasi akademik minimal S-1.
Guru MI dan PAI dituntut untuk segera meningkatkan kualifikasinya agar mampu berkarya secara profesional. Berkaitan dengan masih banyaknya guru MI dan PAI yang belum memiliki kualifikasi seperti yang dituntut oleh peraturan perundang-undangan diperlukan prakarsa yang inovatif dan efisien untuk memberikan layanan pendidikan yang memungkinkan tidak mengganggu pelaksanan tugas-tugas keseharian masing-masing guru.

Pengaruh Sertifikasi Bagi Guru Pendidikan Agama Islam dalam Meningkatkan Kinerja
Program sertifikasi guru yang digelar pemerintah dalam bingkai sertifikat profesi pendidik sejak awal sebenarnya didedikasikan untuk melahirkan guru-guru yang kompeten dan profesional. Sekaligus guru yang telah mendapat sertifikat itu secara otomatis juga akan mendapat tambahan kesejahteraan sebesar satu kali gaji pokok.
Sebagai bentuk jawaban konkrit dari pemerintah guna memenuhi desakan untuk meningkatan mutu pendidikan dan sekaligus peningkatan kesejahteraan bagi guru yang selama ini dirasa teramat rendah. Hal itu pula didasarkan atas asumsi bahwa persoalan peningkatan mutu pendidikan tentu bertolak pada mutu guru. Tanpa adanya peningkatan dari mutu guru itu sendiri jelas kualitas pendidikan di tanah air saat ini tidak akan banyak berubah.
Bila ditelusuri lebih jauh pula, dalam perjalanan program sertifikasi selama ini, pemerintah sebenarnya telah lebih menunjukkan ketidak-profesionalnya. Sejak awal telah banyak celah yang menunjukkan kelemahan program sertifikasi ini. Sebab banyak prosedur yang dibuat pemerintah yang pada akhirnya juga dilangkai sendiri. Diantaranya ialah mengenai ketentuan lulus atau tidaknya para guru peserta uji sertifikasi.
Kerja keras para guru untuk mendapatkan sertifikasi profesi pendidik seharusnya pada akhirnya memang berujung pada dua kenyataan, antara lulus dan tidak lulus. Hal ini untuk memilah mana guru yang memang benar-benar kompeten dan profesional dan mana yang tidak memiliki kompetensi, kepribadian dan profesionalitas sebagaimana yang diharapkan.
Namun, sebenarnya pada akhirnya tidak ada kategori tidak lulus dalam program sertifikasi ini. Sebab ujung-ujungnya, semua guru tetap akan mendapat sertifikasi itu. Di satu sisi pemerintah sudah menetapkan alat ukur kompetensi guru melalui portopolio. Sementara di sisi lain, peraturan yang dibuat juga sangat membuka peluang terjadinya pelemahan terhadap kualitas uji kompetensi pendidik tersebut.
Sebab dalam aturan tentang sertifikasi, bila portopolio yang disusun guru tidak memenuhi standar dan dinyatakan tidak lulus, masih ada peluang besar untuk lulus sertifikasi dengan mengikuti Diklat Profesi Guru. Padahal Diklat Profesi sendiri terhitung singkat dan mudah. Seakan-akan hanya dalam waktu 30 jam Diklat Profesi dianggap cukup untuk melahirkan SDM tenaga pendidik yang kompeten dan profesional.
Dengan adanya sertifikasi maka secara tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebagaimana tujuan dari sertifikasi guru untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, meningkatkan martabar guru, dan meningkatkan profesionalisme guru.





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua pihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Kesadaran dan pemahamannya ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau guru kembali masuk kampus untuk meningkatkan kualifikasinya, maka belajar kembali ini bertujuan untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1.
Demikian pula, kalau guru mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi guru. Sehingga akan mempengaruhi adanya kinerja karyawan.

Penutup
Demikianlah makalah yang dapat disampaikan, apabaila ada kekurangan dan kesalahan kami minta maaf, serta dengan senang hati kami menerima saran dan kritik yang bersifat konstruktif. Akhir kata semoga brmanfaat dan menambah khazanah bagi kita semua. Amin.









DAFTAR PUSTAKA

DirektoDirektorat Pendidikan Madrasah, Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan, Departemen Agama, 2007.
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1994.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswin Zaini, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
HYPERLINK "http://psg.borneo.oc.id/wp-content/files/faq01.pdf" http://psg.borneo.oc.id/wp-content/files/faq01.pdf
http://nayawati.blogspot.com/2010/03/makna-sertifikasi-bagi-guru-pendidikan.html?m=1





Standarisasi Bahasa

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Setiap negara tentu memiliki bahasa masing-masing, yang menjadi pembeda antara negara tersebut dengan negara lainnya, juga bahasa yang menjadi ciri khas dari negara tersebut. Sudah menjadi ketentuan bahwa bahasa yang menjadi bahasa nasional suatu negara pasti memiliki kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan serta peraturan yang mengikatnya, dengan tujuan agar bahasa tersebut menjadi tetap atau baku dan tidak berubah-ubah meski penuturnya silih berganti, tempat dituturkannya dimana-mana dan waktu dituturkannya pun berjarak atau berperiode. Maka pemerintah memiliki kewajiban untuk menstandarkan atau membakukan bahasa nasional negaranya.
Bahasa Arab yang merupakan salah satu bahasa dengan penutur terbanyak di dunia, dan juga bahasa resmi kedua di organisasi dunia, yakni PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), ternyata tidak langsung menjadi bahasa yang teratur, kaya dan komplit seperti yang kita kenal dan kita pelajari saat ini, melainkan ia juga mengalami proses pembakuan atau pengodifikasian sebelumnya.
Makalah yang kami susun ini bertujuan untuk membahas sekelumit dari perihal pembakuan Bahasa Arab, bahasa yang digunakan oleh sebagian besar penduduk dunia, dilafalkan oleh para penganut ajaran Islam dan juga mereka yang tertarik pada bahasa ini. Semoga hal ini bisa bermanfaat bagi khalayak umum, dan saudara-saudara yang ingin mengetahui lebih dan menggeluti Bahasa Arab secara mendalam pada khususnya.

Rumusan Masalah

Apa yang dimaksud dengan standarisasi atau pembakuan bahasa?
Bagaimana proses standarisasi Bahasa Arab?
a.  Apa saja sumber-sumber standar pembakuan Bahasa Arab?
b. Apa yang menjadi standar Bahasa Arab baku/ Al-lughoh Al-fusha sekarang?



BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Standarisasi atau Pembakuan Bahasa
Pembakuan atau standarisasi bahasa adalah proses penentuan ukuran atau norma rujukan yang digunakan atau dapat digunakan sebagai kerangka rujukan atau patokan dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Norma itu ditentukan oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan sediri atas dasar kesepakatan sosial sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan.
Standarisasi bahasa merupakan suatu proses yang berlangsung secara bertahap, tidak sekali jadi. Proses standarisasi tersebut mengalami tahap-tahap sebagai berikut:
1. Pemilihan (selection) ; melalui penelitian,---metode pengkajian bahasa.
            Satu variasi atau dialek tertentu akan dipilih kemudian dikembangkan menjadi bahasa baku. Ragam atau variasi tersebut bisa berupa satu ragam yang telah ada, misalnya yang dipakai dalam kegiatan-kegiatan politik, sosial atau perdagangan, dan bisa merupakan campuran dari berbagai ragam yang ada.
2. Kodifikasi
            Kodifikasi yaitu proses pemberlakuan suatu kode atau aturan kebahasaan untuk dijadikan norma dalam berbahasa oleh masyarakat. Kodifikasi ini meliputi (a) otografi, (b) lafal, (c) tata bahasa, (d) peristilahan. Badan atau lembaga tertentu biasanya ditunjuk untuk terlaksananya kodifikasi ini. Lembaga ini menyusun kamus, buku tata bahasa dengan berpedoman pada kode atau variasi yang akan dimasyarakatkan; sehingga setiap orang mempunyai acuan aturan bahasa yang ‘benar’. Setelah kodifikasi ini dibentuk, maka masyarakat akan mempelajari atau ingin mempelajari bentuk bahasa yang benar dan menghindari yang tidak benar, walaupun yang tidak benar ragam bahasanya sendiri.
3. Penjabaran Fungsi / Sosialisasi
            Apa yang dikodifikasikan itu tidak akan memasyarakat tanpa adanya penjabaran fungsi ragam yang sudah standar itu. Pada kenyataannya proses sosialisasi fungsi ini akan melibatkan pemasyarakatan hal-hal kebahasaan seperti pembiasaan format atau bentuk surat atau dalam penyusunan test dan lain sebagainya.
4. Persetujuan
       Tahap terakhir adalah ragam bahasa itu haruslah disetujui oleh anggota masyarakat penutur bahasa tersebut sebagai bahasa nasional mereka. Kalau sudah sampai pada tahap ini, maka bahasa standar itu mempunyai kekuatan untuk mempersatukan bangsa dan menjadi simbol kemerdekaan negara dan menjadi ciri pembeda dari negara-negara lain.
Proses Standarisasi Bahasa Arab
Bahasa Arab adalah bahasa yang masuk dalam subrumpun Semit dari Hamito Semit atau Afro Asiatik. Bahasa Arab digunakan oleh orang –orang yang tinggal di Semenanjung Arabia, Terdapat banyak dialek-dialek atau lahjah yang tumbuh dan hidup disana, Bahasa ini termasuk dalam bahasa klasik yang paling luas penggunaannya di dunia ini dari pada bahasa-bahasa klasik lainnya, seperti bahasa Latin, bahasa Sansekerta, bahasa Ibrani dan bahasa lainnya. Mengapa? Karena bahasa ini merupakan bahasa al Qur’an yang dibaca oleh berjuta-juta kaum muslimin di penjuru alam ini, yang kemudian mereka gunakan dalam penulisan maupun pembahasan masalah-masalah yang masih terkait dengan agama.
Dibakukannya Bahasa arab menjadi Bahasa fusha disebabkan oleh berbagai  alasan, seperti kepentingan agama, politik, pemerintahan, pemersatu bangsa, dan ciri identitas. Proses standarisasi Bahasa Arab dilakukan melalui kodifikasi formal, seperti penyusunan kamus, tatabahasa, buku-buku kaidah kebahasaan ditulis dengan ragam standar.  Di dalam bahasa Arab proses kodifikasi telah di mulai sejak abad ke 5 M, pada masa pemerintahan Ali Bin Abi Thalib, meskipun pada taraf klasifikasi I’rab. Lalu di kembangkan kembali oleh para filolog pada Abad ke 7 sperti Halil Bin Ahmad dan Syibaweih seorang filolog Bagdad, hingga pada masa nahdah atau masa kebangkitan bangsa arab pada abad 18 yang ditokohi oleh Al-Zabi’diy.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa terdapat banyak lahjah atau dialek pada Bangsa Arab sebelum terjadi pembakuan, pada saat itulah terjadi yang namanya pertarungan bahasa atau biasa kita kenal dengan istilah Shiraa’ul lughoh. Lahjah bahasa Tamim dan Quraisy merupakan dua lahjah yang lebih menonjol di antara lahjah-lahjah arab lainnya. Disebutkan bahwa bahasa Quraisy lebih baik dari bahasa Arab lainnya karena kefasihan lafaz-lafaznya, mudah diucapkan dan lebih indah didengarkan serta lebih jelas penjelasannya.  Maka dalam pertarungan bahasa atau Shiro’ul lughoh  itu yang menjadi pemenangnya adalah dialek atau lahjah Quraisy. Dialek Quraisy tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat, diantara faktor pendorongnya adalah:
Faktor ekonomi, orang dari suku-suku Quraisy pada waktu itu menguasai sumber-sumber ekonomi masyarakat.
Faktor agama, Makah menjadi kota yang di sucikan dan mempunyai tempat peribadatan yang di sucikan yaitu Ka’bah.
Bahasa pengantar, di dalam melakukan permusyawarahan antar suku, dialek Quraisy yang dipakai sebagai bahasa pengantarnya untuk seluruh wilayah Jazirah Arab.
Karya seni, Sebelum datangnya Islam ada yang dinamakan pasar seni, pasar seni ini adalah pasar Ukaz dan pasar Majanah, pada bulan-bulan tertentu dua pasar tersebut diramaikan oleh kegiatan perdagangan dan sekaligus kegiatan perlombaan untuk melantunkan sya’ir-sya’ir yang ditulis oleh pujangga-pujangga arab, pujangga-pujangga ini merupakan utusan-utusan dari tiap-tiap suku, yang kemudian disaksikan oleh berbagai pengunjung yang datang dari berbagai daerah. Karya-karya pujangga yang menang dalam perlombaan itu maka hasil karyanya akan digantungkan pada dinding Ka’bah dan ditulis dengan tinta Emas. Dari kegiatan seperti inilah yang kemudian diakek Quraisy ini memdominasi diakek-dialek arab lainnya.
Islam dan Al-Qur’an, Setelah datangnya Islam yang disertai turunnya Al-Qur’an maka bahasa Arab kini menjadi sangat sempurna dalam ilmu kebahasaan dan dalam ilmu yang lainnya, Al-Qur’an memuat berbagai struktur kalimat/ jumlah yang sangat kaya, munculnya kosakata – kosakata baru yang mempunyai makna yang sangat dalam dan tinggi, gaya bahasa yang sangat indah. Kemudian pada awal datangnya Islam, Rasulullah melarang kepada para penyair arab untuk tidak membuat lagi sya’ir-sya’ir yang bernuansakan sanjungan percintaan, caci maki , ratapan-ratapan tetapi harus sya’ir-sya’ir yang memiliki nilai-nilai moral agama.
Perluasan wilayah kekuasaan Islam, akibat terjadinya berbagai kemenangan dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam maka bahasa Arab kini menjadi bahasa resmi di berbagai negara seperti Maroko, Al-Jazair, Libia, Mesir,Sudan, Suriah, Irak dan Iran, disamping daerah-daerah yang berada diwilayan Jazirah Arab.
Di dalam bahasa Arab, kemudian dialek Qurais dijadikan sebagai lingua franca atau bahasa penghubung antar kabilah di wilayah semenanjung arab. Hal ini merupakan fenomena diglosia (situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa) dengan dijadikannya dialek Quraisy sebagai penghubung, sekaligus bahasa standar, dan ragam bahasa non standar adalah dialek-dialek lokal dari tiap tiap kabilah. Untuk selanjutnya bahasa yang telah distandarkan ini disebut dengan Bahasa fusha.  
Dengan bahasa standar itu, membaca kitab “Ar-Risalah” yang ditulis sebelas abad yang lampau tidak berbeda dengan membaca tulisan yang baru dicetak kemarin. Dengan menguasai bahasa Arab standar, siaran radio berbahasa Arab, dari negara manapun, dapat dimengerti tanpa hambatan yang berarti. Sebab pola kata, kalimat, dan gaya bahasa yang dipergunakan, dalam dua kasus di atas, sama. Bahasa Arab standar ini contoh konkretnya adalah bahasa Arab yang dipergunakan dalam setiap komunikasi dengan teratur, seperti pada contoh yang telah disebutkan di atas. Artinya, pemakaian bahasa Arab Fusha itu mempunyai aturan yang disebut dengan tata bahasa. Kosa kata yang dipergunakan dalam komunikasi tidak terlepas terpisah-pisah secara bebas tanpa aturan tertentu, tetapi senantiasa mengikuti kebiasaan-kebiasan secara otomatis dalam bahasa Arab yang selanjutnya kebiasaan-kebiasaan itu dijadikan kaedah-kaedah bahasa Arab. Kaedah-kaedah itu dikenal dengan ilmu nahwu dan sharaf. Dengan aturan itu maka bahasa Arab yang dipergunakan sejak zaman Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dapat dipahami dengan mudah oleh generasi berikutnya sampai generasi jauh di masa-masa yang akan datang. Bahasa Arab Fusha ini tidak mengalami nasib seperti bahasa asing lainnya yang sulit dipahami oleh generasi berikutnya. Mengenai hal ini Ghazzawi, seorang pakar bahasa  menyatakan:
… since classical Arabic has change so little since Muham-mad’s time, Arab today can read Arabic written in seventh or eighth century without too much difficult. This is quite different from the situation in English, as we can not read Old English texts without special study, as though for foreign language (Sabah Ghazzawi).
Bahasa Arab Fusha itu sering dicontohkan dengan Qur’an dan syair-syair Arab. Demikian juga teks-teks hadis menjadi contoh bahasa Arab Fusha karena diucapkan oleh Rasululah SAW yang berasal dari suku Quraisy. Jadi bahasa Arab Fusha ini kosa kata dan aturan pemakaiannya disepakati oleh suku-suku Arab. Bahasa Arab Fusha ini yang menjadi materi pembelajaran bahasa Arab, yang sekarang ini diupayakan strategi pengembangan pendidikannya. Suka atau tidak suka, bahasa Arab Fusha itu akan menjadi bahasa yang hidup dan terpelihara, karena merupakan kristalisasi bahasa suku-suku Arab. Bahasa Arab Fusha itu disepakati dan difungsikan sebagai alat komunikasi untuk semua bangsa Arab.Pada akhirnya tidak ada alasan lagi untuk tidak mempelajari bahasa Arab Fusha.
Standar Pembakuan Bahasa Arab dan Ilmu Nahwu
    Sumber-sumber  yang dijadikan sebagai penetapan ukuran bahasa fusha menurut ahli bahasa arab adalah sebagai berikut:
1. al-Qur’an al-Karim
Al-Qur’an merupakan standar bahasa fusha yang tertingi, dan contoh terbaik bagi bahasa satra yang disepakati secara umum.Oleh karena itu ahli bahasa sepakat untuk mengakuinya dan menerima setiap kaedah yang berasal dari al-Qur’an.
2. Al-qira’ah al-Qur’aniyah
Qira’at qur’aniyah yaitu bentuk-bentuk qira’ah yang diperbolehkan oleh Nabi saw dalam membaca al-Qur’an dengan tujuan mempermudah.
3. Al-Hadits al-Nabawi al-Syarif
Dalam menetapkan hadits nabi sebagai standar bahasa yang baku, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahli bahasa modern (muhaditsin). Sedangkan ahli bahasa klasik (mutaqaddimin) sepakat untuk menjadikan hadits nabi sebagai sumber standar bahasa yang benar, dengan menyertakan sebagaian hadits-hadits tersebut dalam buku-buku mereka, meskipun sedikit.
4. As-Syi’r (sya’ir-sya’ir)
Ahli bahasa memberikan perhatian yang besar terhadap syair arab klasik dan menganggapnya sebagai dasar awal peletakan bahasa baku dalam bahasa arab.  Seperti dikatakan bahwa syair itu diwan orang arab.Syair Arab klasik terdapat penetapan secara baku aturan-aturan dalam berbahasa,  sehinggga benar atau salahnya bahasa seseorang dapat diukur dengan merujuk ke syair.
5. Al-Syawahid An-Natsriyah
Natsar yang dijadikan sebagai sumber standar bahasa baku adalah yang berupa, khutbah (pidato), wasiat (nasehat), amtsal (perumpamaan) dan hikmah. Dan semua itu dianggap sebagai bagian sastra yang penting dan memiliki kedudukan sama dengan syair.
Sebagian peneliti mengungkapkan penelitian mereka tentang proses pembakuan bahasa Arab fusha serta dasar-dasar ilmiah dalam proses pembakuan tersebut, dan tingkat kesepakatan terhadap dasar-dasar ilmiah serta tingkat konsistensi pijakan terhadap dasar-dasar ilmiah dalam proses pembakuan, para peneliti tersebut menyimpulkan empat dasar pijakan proses pembakuan yakni dasar wilayah, Kurun Waktu, kuantitas data dan kuntitas informan. Tidak ada kesepakatan terhadap dasar pembakuan tersebut serta tidak adanya badan khusus dalam proses pembakuan tersebut.
Hubungan Bahasa Arab Fusha dengan ilmu Nahwu
Setiap Negara memiliki satu bahasa resmi atau bahasa kebangsaan. Bahasa itu menjadi istimewa dengan adanya ketetapan/ kaedah tata bahasa. Dan selalu digunakan dalam penulisan resmi dalam segala urusan di satu Negara atau antara beberapa Negara yang menggunakan bahasa yang sama. Bahasa ini juga digunakan dalam menterjemahkan buku-buku ilmiah. Dan segala urusan administrasi Negara atau pidato-pidato resmi kenegaraan begitu juga dengan segala urusan yang bersifat fomal. Biasanya bahasa tulisan lebih fusha dari bahasa lisan. Dan dalam bahasa fusha tidak ditemukan bahasa ‘amiyah. Dalam bahasa Arab, yang menjadi tolak ukur kebakuan bahasanya atau kefushahan lughohnya adalah kaidah tata bahasanya yang disebut dengan  Nahwu. Maka peran ilmu nahwu begitu berarti. Bahasa Arab Fusha senantiasa teratur dan sesuai dengan kaedah-kaedah bahasa. Untuk mempergunakan bahasa Arab Fusha diperlukan ilmu nahwu. Demikian pula sebaliknya, ilmu nahwu menjadi tidak ada gunanya bila bahasa yang dipergunakan adalah bahasa ‘Amiyah. Jadi peran ilmu nahwu tergantung pada keadaan bahasa Arab yang dipergunakan. Ditinjau dari strategi pendidikan bahasa Arab, maka makin sempurna bahasa Arab yang diajarkan makin maksimal peran ilmu nahwu, dan makin tidak teratur bahasa yang diajarkan, semisal bahasa ‘Arab ‘Amiyah, makin tidak berperan pula ilmu nahwu.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pembakuan atau standarisasi bahasa adalah proses penentuan ukuran atau norma rujukan yang digunakan atau dapat digunakan sebagai kerangka rujukan atau patokan dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Begitu juga Bahasa Arab yang kita kenal sekarang, ia telah mengalami proses pembakuan sebelumnya, dimulai sejak abad ke 5 M. Dibakukannya Bahasa arab menjadi Bahasa fusha disebabkan oleh berbagai  alasan, seperti kepentingan agama, politik, pemerintahan, pemersatu bangsa, dan ciri identitas. Bahasa arab yang dibakukan sekarang mengikuti lahjah dan dialek Quraisy, yang menjadi pemenang pada pertarungan Bahasa pada masanya. Sebab-sebab unggulnya lahjah Quraisy adalah karena faktor ekonomi, faktor agama, faktor pemerintahan dan seni.
Sumber-sumber pembakuan Bahasa Arab berasal dari Al-Qur’an, Hadits Nabi, sya’ir-sya’ir, karya-karya sastra dan Qiro’ah Qur’aniyyah. Hingga sekarang, tata bahasa yang mengikat bahasa Arab disebut dengan Nahwu, sehingga Bahasa Arab menjadi stabil meski ia adalah meru[akan bahasa tertua di dunia.

Saran
Tak ada gading yang tak retak, maka seperti itu pulalah makalah kami ini, tak lepas dari kurang dan cacat, oleh karena itu, kritikan dari dosen pembimbing ataupun saudara- saudara yang bersifat membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan kedepannya.Demikian makalah yang kami susun, semoga bisa dimanfaatkan dan bermanfaat bagi setiap pihak.




“ yanfudzu maa laa tanfudzul libaas”


DAFTAR PUSTAKA

Poedjoesoedarmo, Soepomo. 2003. Filsafat Bahasa. Surakarta, Muhammadiyyah university Press
TaufiQurrohman, H.R. 2008 cet 1.  Leksikologi Bahasa Arab. Malang, UIN Malang Press
Jatisarwoedy.blogspot.com/2010/09/pembakuan-bahasa (standarisasi), diakses pada 14 April 2014, 10:43 am
http://subpokbarab.wordpress.com/2008/05/09/bahasa-arab-dan-pengkodifikasiannya, diakses 14 April 2014, 01:48 pm
http://standar-berbahasa-yang-benar-antara.html. Diakses pada 14 April 2014, 10:45 am
http:// Fakultas Adab  Bahasa Sasaran  Dari Amiyah ke Fusha.html. Diakses pada 14 April 2014, 01:45 pm
http:// Fakultas Adab  Bahasa Sasaran  Dari Amiyah ke Fusha.htm. Diakses pada 14 April 2014, 10:55 am
http://methiafarina.blogspot.com/2012/05/standar-standar-bahasa-fusha.html. Diakses pada 14 april 14,  jam 10:45 am












SUMMMARY
Pembakuan atau standarisasi bahasa adalah proses penentuan ukuran atau norma rujukan yang digunakan atau dapat digunakan sebagai kerangka rujukan atau patokan dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan
Tahap-tahap standarisasi; Pemilihan (selection), Kodifikasi, Sosialisasi, dan Persetujuan.
Dibakukannya Bahasa arab menjadi Bahasa fusha disebabkan oleh berbagai  alasan, seperti kepentingan agama, politik, pemerintahan, pemersatu bangsa, dan ciri identitas.
faktor pendorong menangnya lahjah/ Bahasa Quraisy dalam pertarungan bahasa  a/l:
Faktor Ekonomi c. Bahasa pengantar e. perluasan wilayah Islam
Faktor Agama d. adanya pasar seni f. Islam dan al-Qur’an
Sumber-sumber  yang dijadikan sebagai penetapan ukuran standarisasi bahasa arab:
al-Qur’an al-Karim c. Al-Hadits al-Nabawi e. Al-Syawahid An-Natsriyah
Al-qira’ah al-Qur’aniyah d. As-Syi’r (sya’ir-sya’ir)
Standar baku Bahasa arab terikat dalam kaidah nahwu. Untuk mempergunakan bahasa Arab Fusha diperlukan ilmu nahwu. Demikian pula sebaliknya, ilmu nahwu menjadi tidak ada gunanya bila bahasa yang dipergunakan adalah bahasa ‘Amiyah. Jadi peran ilmu nahwu tergantung pada keadaan bahasa Arab yang dipergunakan
SUMMMARY
Pembakuan atau standarisasi bahasa adalah proses penentuan ukuran atau norma rujukan yang digunakan atau dapat digunakan sebagai kerangka rujukan atau patokan dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan
Tahap-tahap standarisasi; Pemilihan (selection), Kodifikasi, Sosialisasi, dan Persetujuan.
Dibakukannya Bahasa arab menjadi Bahasa fusha disebabkan oleh berbagai  alasan, seperti kepentingan agama, politik, pemerintahan, pemersatu bangsa, dan ciri identitas.
faktor pendorong menangnya lahjah/ Bahasa Quraisy dalam pertarungan bahasa  a/l:
Faktor Ekonomi c. Bahasa pengantar e. perluasan wilayah Islam
Faktor Agama d. adanya pasar seni f. Islam dan al-Qur’an
Sumber-sumber  yang dijadikan sebagai penetapan ukuran standarisasi bahasa arab:
al-Qur’an al-Karim c. Al-Hadits al-Nabawi e. Al-Syawahid An-Natsriyah
Al-qira’ah al-Qur’aniyah d. As-Syi’r (sya’ir-sya’ir)
Standar baku Bahasa arab terikat dalam kaidah nahwu. Untuk mempergunakan bahasa Arab Fusha diperlukan ilmu nahwu., ilmu nahwu menjadi tidak ada gunanya bila bahasa yang dipergunakan adalah bahasa ‘Amiyah. Jadi, perannay tergantung bahasa yang digunakan.